ITS News

Selasa, 23 April 2024
16 April 2020, 09:04

Aksi Kamisan, Getir Korban Kasus Pelanggaran HAM

Oleh : itsjev | | Source : ITS Online

Ilustrasi Aksi Kamisan (Sumber gambar: tirto.id)

Kampus ITS, Opini Penegakan keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara ini selalu menjadi persoalan yang mendarah daging pada setiap lapisan masyarakat, utamanya masyarakat yang merasa termarginalkan karena tidak adanya pemerataan dalam pengeksekusian keadilan HAM. Terbukti, banyak sekali upaya yang digelar masyarakat guna menuntut keadilan HAM, salah satunya melalui Aksi Kamisan.

Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa, HAM bisa jadi sebuah privilese yang didapatkan sejak manusia lahir. Bahkan, hak tersebut seolah-olah menjadi mesin otomatis yang mencetak diri manusia, terlepas dari mana asal-muasal manusia itu dibesarkan. Berbicara mengenai HAM di negeri ini, rasanya akan berbuntut pada sejuta pertanyaan dengan satu titik paling krusial, sudahkah negara ini mewujudkan keadilan HAM?

Kalian pasti tidak asing dengan nama Munir dan Marsinah, bukan? Apakah sudah ada titik terang dari kejadian yang menimpa dua pahlawan HAM itu? Tentu saja belum. Aksi Kamisan ini dibuat sebagai bentuk perjuangan dari para korban dan keluarga korban supaya negara lekas menuntaskan Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

Tragedi Mei 1998 dalam ilustrasi (Sumber gambar: pophariini.com)

Aksi Kamisan sendiri telah menginjak usia ke-13 tahun pada 17 Januari lalu. Pada masa awal pembentukan, aksi ini berdiri melalui sebuah musyawarah antara Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), serta KontraS. Sejak 18 Januari 2007, para korban dan keluarga pelanggaran HAM berat beraksi dalam “Aksi Diam” yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Kamis di depan Istana Negara.

Keseluruhan kegiatan Aksi Kamisan menjadi pilihan bersama. Aksi ini juga dikenal sebagai “Aksi Payung Hitam” karena maskot dari aksi ini adalah payung berwarna hitam yang di permukaannya tercetak tuntutan-tuntutan kemanusiaan. Payung sendiri dilambangkan sebagai simbol perlindungan dan keteguhan iman.

Namun, ikhtiar demi bertahan dalam memperjuangkan terungkapnya kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa, nyatanya tidak semudah yang terdengar. Aksi Kamisan acap kali mendapat perlawanan, bahkan dari aparat berwenang. Tuduhan demi tuduhan juga diterima oleh Aksi Kamisan, dari dituduh sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), dituduh sebagai gerakan perlawanan, hingga dituduh sebagai aksi pemberontakan. Nyatanya, umpatan-umpatan demikian bukanlah hal yang mengejutkan bagi mereka. Bahkan, mengutip kompas.com, Aksi Kamisan ternyata sempat dilarang di beberapa kota seperti Bogor dan Bukittinggi.

Sumarsih, Ibu dari korban penembakan Mei ’98 bernama Wawan (sumber: dianparamita.com)

Dalam 13 tahun perjalanannya, hanya satu kali peserta Aksi Kamisan dipersilakan masuk ke dalam istana. Peserta Aksi Kamisan bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 31 Mei 2018 lalu. Pertemuan itu merupakan yang pertama setelah 11 tahun mereka melakukan aksinya. “Pak Presiden, rekonsiliasi tanpa proses hukum adalah impunitas,” ujar Maria Katarina Sumarsih, anggota Presidium JSKK.

Dalam giat 13 tahun Aksi Kamisan berkiprah, fakta ini cukup memilukan bilamana mengingat beratnya perjuangan korban dan keluarga demi menuntut keadilan HAM. Nyatanya, berdiri di seberang istana belum tentu membantu seseorang mendapatkan keadilan. Karena kalau masyarakat Indonesia mau merawat ingatan, bahwa kekerasan akan terus terjadi jika keadilan tidak diberikan. Keadilan harus tetap diperjuangkan.

 

Ditulis oleh:
Yanwa Evia Java
Mahasiswa S1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Reporter ITS Online

Berita Terkait