ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
09 Februari 2020, 11:02

Belajar dari Perjuangan Jurnalis Inspiratif Indonesia

Oleh : itssin | | Source : ITS Online

Ilustrasi Hari Pers Nasional

Kampus ITS, Opini – Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Menjadi seorang jurnalis bukanlah suatu hal yang mudah. Mereka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memberikan informasi yang valid berdasarkan fakta-fakta yang ada. Menyuarakan kebenaran informasi sudah menjadi prinsip hidup sekaligus tantangan bagi mereka. Dalam menempuh jalan jurnalistik, akan selalu ada rintangan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan.

Apalagi adanya budaya suap-menyuap, sebuah informasi menjadi sangat mudah untuk diperjual belikan. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk memuaskan sebelah pihak. Tanpa adanya profesionalitas, mereka hanya akan berorientasi pada uang dan dengan mudah disetir oleh pihak yang berkuasa. Seperti di era Presiden Soeharto dimana kebebasan pers begitu dikekang oleh otoritas.

Metta Dharmasaputra, salah satu jurnalis yang terkenal karena keberaniannya dalam membongkar skandal penggelapan dana dalam kasus PT Asian Agri. Ia adalah pendiri dan direktur PT Kata Data, sebelumnya ia bekerja sebagai wartawan senior Majalah Tempo dan banyak menulis peliputan investigatif. Praktik suap dan rekayasa pajak PT Asian Agri Group yang diusutnya berdampak pada permusuhan dari pihak terkait terhadap dirinya.

Metta bahkan harus menjalani pemeriksaan oleh Dewan Pers dan terancam dipenjara. Namun dengan profesionalitas yang dimilikinya, ia sanggup membela diri dan terlepas dari tuduhan tersebut. Pemberitaan skandal tersebut membawanya meraih penghargaan Udin Award pada tahun 2010 yang didedikasikan kepada jurnalis yang memperjuangkan proses pemberitaan meski memperoleh intimidasi.

Sosok jurnalis lain yang juga memiliki andil besar dalam dunia jurnalistik adalah Najwa Shihab. Kisah liputannya yang mengharukan saat meliput kondisi Aceh pasca tsunami pada tahun 2004 dan usahanya merintis program Mata Najwa merupakan sedikit dari banyak prestasinya. Ia terkenal akan kecerdasan dan ketegasannya dalam mengusut masalah politik dan hukum di Indonesia. Tidak jarang kritik-kritiknya membuat jengkel para politisi.

Menanggapi hal tersebut, Najwa hanya berkomentar, “Tak ada yang salah dengan keberpihakan, apalagi jika menyangkut kebijakan publik. Kalau tidak, what do you stand up for?” Jurnalis harus bisa mempertahankan tugas dan fungsinya sebagai corong informasi, kubu kritik pemangku kekuasaan, hingga pengungkap kebenaran untuk publik.

Selain itu, ada beberapa jurnalis yang juga memperjuangkan pemberitaan di daerah konflik. Mereka rela mengorbankan tenaga, waktu, dan nyawanya demi menghasilkan suatu berita yang berkualitas. Muhlis Suhaeri salah satunya, ia menjadi saksi sejarah dengan mengabdikan dirinya untuk memberitakan kondisi di Kalimantan dalam kasus G30S/PKI.

Jurnalis Inspiratif Indoensia. Dari kiri atas: Najwa Shihab, Linda Christanty, Muhlis Suhaeri, Metta Dharmasaputra.

Sosok Linda Christanty juga memberikan kontribusinya dengan mendirikan dan memimpin kantor berita di Banda Aceh untuk memantau rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami proses perdamaian di Aceh. Begitu juga dengan Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang terjadi di Beirut. Ia bahkan berhasil mewawancarai presiden Lebanon tentang konflik yang terjadi di jalur Gaza.

Taruhan nyawa telah menjadi konsekuensi yang harus diambil dalam memberitakan kondisi saudara kita di daerah konflik. Mereka harus menyusur daerah yang sulit dijangkau hanya untuk mendapatkan kebenaran dari tragedi tersebut. Medan konflik bukanlah tempat yang diimpikan banyak orang, namun semua itu ditepisnya. Bagi mereka, jurnalis tidak hanya sebatas pemberitaan, tetapi rasa empati yang membawa mereka untuk bertahan di sana.

Dari perjuangan jurnalis-jurnalis inspiratif tersebut, bidang yang digeluti para jurnalis memang berbeda-beda. Ada jurnalis di bidang politik, hukum, kemanusiaan, dan lainnya. Namun, hal tersebut tidak terlepas dari idealisme mereka sebagai jurnalis yang menjunjung kebenaran, moralitas, dan menyuarakan suara hati masyarakat. Mereka adalah jurnalis-jurnalis handal dan profesional yang patut menjadi panutan bagi jurnalis lain.

Di masa depan, tantangan yang dihadapi dunia jurnalistik dalam mengabarkan berita faktual akan semakin berat. Di sejumlah negara, kebebasan pers dalam jurnalistik merupakan hal yang langka. Masih banyak pegiat jurnalistik di mancanegara yang terbelenggu dalam menyuarakan kebenaran. Karenanya, Indonesia membutuhkan generasi jurnalis yang mumpuni untuk menjunjung kebebasan pers.

Kepada jurnalis dan calon jurnalis dunia, tidak ada kata terlambat untuk memulai berjuang menjunjung kebebasan pers. Kita bisa membuktikan bahwa jurnalis yang independen dan idealisme sejatinya benar-benar ada. Selalu siap mengabdi dalam membumikan kebenaran dan menyuarakan suara hati masyarakat. Layaknya kutipan dari seorang jurnalis, Jarar Siahaan, “Jurnalisme adalah jalan pedang kalau bukan jalan sunyi”.

Ditulis oleh:

Shinta Ulwiya

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait