ITS News

Rabu, 24 April 2024
11 Maret 2019, 17:03

Teliti Terumbu Karang sebagai Bioindikator Pencemaran Panas

Oleh : itsram | | Source : https://www.its.ac.id/

Dian Saptarini saat mempresentasikan materi disertasinya dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di ITS

Kampus ITS, ITS News – Pembuangan air bahang dari aktivitas industri ke daerah pesisir pantai berkontribusi dalam kenaikan suhu air di pesisir yang bisa merusak terumbu karang. Berangkat dari hal tersebut, Dr Dra Dian Saptarini MSc meneliti terumbu karang sebagai parameter biologi untuk pengendalian pencemaran panas.

Penelitian untuk disertasi tersebut dipaparkan dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat ITS, Senin (11/3).

Indonesia secara geografis berada di daerah yang beriklim tropis, ungkap Dian, sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa terumbu karang yang melimpah di daerah pesisir. Disisi lain, wilayah pesisir banyak dimanfaatkan dalam pengembangan wilayah maupun kegiatan, salah satunya kegiatan industri. Sebagian industri menggunakan air laut sebagai bahan baku air pendingin mesin dan melepaskan air pendingin dengan suhu tinggi ke perairan pesisir.

Dian Saptarini (kiri) saat mempresentasikan materi disertasinya dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di ITS

Air bahang ialah air laut yang telah digunakan dalam proses pendinginan mesin yang dibuang kembali ke laut. Pembuangan air bahang selain dari industri, juga berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kebutuhan energi yang tinggi menyebabkan pembangunan PLTU yang masif di Indonesia. “Dewasa ini, Indonesia sudah memiliki sekitar 37 PLTU, dan ada kemungkinan untuk bertambah,” ujar perempuan yang juga dosen Biologi ITS ini.

Menurut kajian-kajian sebelumnya, lanjut Dian, karang sangat sensitif pada perubahan suhu. “Oleh karenanya diteliti penggunaan terumbu karang sebagai parameter biologi untuk pencemaran panas, sehingga bisa dihasilkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaruh peningkatan suhu dan kerusakan karang dalam tahapan manajemen pembuangan air bahang di pesisir,” terang perempuan yang juga koordinator program ITS Smart Eco Campus ini.

Menurut Dian, karang dapat dianalogikan sebagai hutan hujan tropisnya laut atau ocean forest. Peran dari karang bagi bumi sama seperti peran hutan hujan tropis, yaitu sebagai tempat tinggal dan berkembangbiaknya biota laut, kemampuan menyerap karbon.. Namun, pembuangan air bahang dari industri ke laut dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang berupa hambatan dalam pertumbuhan, metabolisme dan juga coral bleaching atau pemutihan karang.

Coral bleaching adalah proses menghilangnya warna karang menjadi putih yang diakibatkan oleh degradasi populasi zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang. Degradasi ini menyebabkan karang menjadi mati dan fungsinya dalam mereduksi emisi karbon, dan tempat tinggal serta berkembang biak biota laut menjadi hilang.

Dari penelitiannya tersebut, Dian mengidentikasi adanya variasi komposisi karang berdasar sifat adaptifnya pada perairan yang mengalami kenaikan suhu dan tidak. Karang yang berada di daerah yang mengalami kenaikan suhu akibat air bahang di dominasi oleh karang dengan sifat adaptif stress tolerator yg dimiliki oleh karang2 masif, sedangkan karang yang berada di perairan dengan suhu optimum memiliki komposisi karang dari tipe adaptif stress tolerator, rudera dan kompetitor. Salah satu jenis karang yg bersifat ruderal adaah karang bercabang.

Suasana Sidang Terbuka Promosi Doktor dengan promovenda Dian Saptarini

Coral bleaching adalah proses menghilangnya warna karang menjadi putih yang diakibatkan oleh degradasi populasi zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang. Degradasi ini menyebabkan karang menjadi mati dan fungsinya dalam mereduksi emisi karbon, dan tempat tinggal serta berkembang biak biota laut menjadi hilang.

Dari penelitiannya tersebut, Dian mengidentikasi adanya variasi komposisi karang berdasar sifat adaptifnya pada perairan yang mengalami kenaikan suhu dan tidak. Karang yang berada di daerah yang mengalami kenaikan suhu akibat air bahang di dominasi oleh karang dengan sifat adaptif stress tolerator yg dimiliki oleh karang2 masif, sedangkan karang yang berada di perairan dengan suhu optimum memiliki komposisi karang dari tipe adaptif stress tolerator, rudera dan kompetitor. Salah satu jenis karang yg bersifat ruderal adaah karang bercabang.

Dari pengamatannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberadaan karang yang berbeda karakteristiknya ini menjelaskan informasi lingkungan yang berbeda. Dengan penelitian lanjutan, Dian menemukan bahwa peningkatan suhu yang dapat ditolerir oleh karang kurang lebih 2,3℃ dari batas atas parameter lingkungan/suhu. “Suhu ideal karang tumbuh ialah 26 – 30℃, dengan batas ambang ekologi yang dapat ditolerir karang untuk pertumbuhan yang optimum adalah 32℃,” tegasnya.

Di akhir presentasinya, Dian mengungkapkan hasil penelitiannya ini berlaku secara universal, meski masih sebatas pada area tropis. Selain itu, masih banyak hal yang bisa dikembangkan lagi untuk melengkapi penelitiannya ini. Dian mengatakan, topik seperti bagaimana karang bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau fase perkembangan karang adalah beberapa contoh topik yang bisa diteliti untuk melengkapi temuan ini.

Dian Saptarini (membawa buket bunga) bersama keluarga dan para kolega usai sidang doktor

Dikatakan Dian, kebutuhan energi di Indonesia yang tinggi menjadi salah satu penyebab tingginya pembuangan air bahang yang masif. Dengan diketahuinya ambang batas ekologi karang, ia berharap pembangunan untuk memenuhi kebutuhan energi ke depannya bukan sekedar membangun. “Tapi juga memerhartikan di mana kita membangun, dan dampak apa yang bisa terjadi akibat pembangunan itu,” pungkas Dian. (ram/HUMAS ITS)

 

Berita Terkait