ITS News

Rabu, 24 April 2024
15 Februari 2019, 14:02

Empat Jurus Bijak Hadapi Caleg Eks Koruptor

Oleh : itsmis | | Source : -

Maskot Pemilihan Umum 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang akan menyemarakkan pesta demokrasi terbesar di Indonesia

Opini, ITS News – Diperbolehkannya eks koruptor berpartisipasi sebagai calon legislatif (caleg) menjadi ‘bumbu’ menarik dalam pesta demokrasi Indonesia kali ini. Betapa tidak, menyoal rasa, ada yang menganggap ‘bumbu’ ini sebagai perwujudan dari berjalannya demokrasi di Indonesia. Namun tidak sedikit yang menjadikan para caleg eks koruptor ini sebagai ‘bumbu’ yang dapat merusak ‘cita rasa’ dalam upaya membangun Indonesia ke depan.

Generasi milenial punya andil besar dalam memilih wakil rakyat terbaik. Sebagai bagian dari elemen masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan dan rasa keingintahuan yang tinggi pula, sudah seyogyanya mereka mampu untuk menentukan pilihan dan langkah ke depan. Sebab persoalan masuknya caleg eks koruptor ke arena ini tidak cukup jika hanya dipikirkan sepintas saja. Melainkan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi mengenai layak tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat dan generasi milenial memiliki kualifikasi untuk itu. Berikut empat langkah menentukan apakah caleg eks koruptor layak dipilih atau tidak.

Pertama adalah menilik detail kasus yang pernah melilit caleg eks koruptor. Dengan memahami kasus yang ada, milenial akan terbuka pikirannya. Sehingga tidak lantas langsung menghakimi dengan dikotomi hitam putih saja. Meskipun hukum adalah penentu seseorang bersalah atau tidak, namun di balik itu, tidak menutup kemungkinan adanya ketidakakuratan atau ketidakadilan dalam pengambilan keputusan. Sehingga, ada berbagai kemungkinan yang terjadi. Apakah caleg koruptor tersebut benar-benar bersalah akibat perbuatannya, atau bisa jadi ia diputus bersalah karena skenario yang telah diatur oleh orang-orang tak bertanggung jawab di sekelilingnya, termasuk kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Kedua yakni membaca rekam jejak para caleg eks koruptor. Di era keterbukaan informasi seperti ini rasanya tidak sulit untuk menemukan rekam jejak mulai dari pendidikan hingga karier seseorang. Baik dari sosial media, pemberitaan daring, hingga jejaring dari lingkaran pertemanan caleg eks koruptor bersangkutan. Dengan informasi-informasi tersebut, generasi milenial kemudian dapat mengetahui peran dan kiprah apa yang sudah diukir sewaktu para caleg koruptor ini menjabat.

Jika memang caleg koruptor tersebut berprestasi, maka tidak ada salahnya jika pemilih untuk mempertimbangkan memilih yang bersangkutan. Namun sebaliknya, alih-alih berprestasi, jika hobinya menyebarkan hoax dan hanya mengumbar janji manis belaka, maka tidak perlu ragu untuk dicoret namanya dari daftar pilihan dan mempertimbangkan kandidat lain.

Ketiga yaitu membandingkan caleg eks koruptor dengan caleg lainnya. Ada beberapa kondisi yang memaksa caleg koruptor kembali mencalonkan diri mereka. Salah satunya adalah karena kurangnya kandidat potensial. Khususnya di daerah-daerah terpencil yang sumber daya manusianya tidak banyak.

Dengan membandingkan caleg satu dengan lainnya, maka generasi milenial dapat mempertimbangkan baik buruknya seorang caleg. Jika tidak ada caleg yang berprestasi, maka pilihlah caleg yang minim keburukannya. Dengan begitu, setidaknya kita meminimalisir hadirnya orang-orang yang berpotensi menimbulkan perkara, kegaduhan atau kekacauan dalam roda pemerintahan Indonesia.

Keempat atau terakhir adalah bertukar pikiran dengan pemilih lainnya. Tidak jarang mindset seseorang terbelenggu karena terus-menerus menerima informasi mengenai kebaikan dan keburukan seseorang. Hingga kemudian munculah sebuah stigma baik dan buruk. Lama-kelamaan, cap ini akan terus menempel di pikiran manusia. Hingga sebaik apapun usaha yang dilakukan seorang caleg, jika pemikirannya tidak terbuka maka selamanya akan terus dicap buruk. Pun sebaliknya, seburuk apapun tingkah laku seorang caleg, jika tidak mau membuka mata, maka pemilih akan tetap menganggap junjungannya selalu baik.

Oleh karenanya, penting bagi generasi milenial untuk membuka jalur komunikasi dengan siapapun. Sehingga informasi yang diterima tidak lagi satu arah. Akan ada banyak perspektif mengenai caleg-caleg tertentu. Kendati demikian, tidak lantas apa yang dikatakan oleh orang lain ditelan mentah-mentah. Melainkan harus divalidasi kebenarannya dan diolah lagi sebelum dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih.

Setelah melalui proses panjang di atas, harapannya, proses penentuan caleg di pesta demokrasi terbesar Indonesia nanti bisa lebih mudah dan menghasilkan wakil rakyat terbaik untuk Indonesia yang lebih baik.

Ditulis oleh:

M Ridha Tantowi
Mahasiswa Departemen Arsitektur ITS
Angkatan 2014
Pemimpin Redaksi ITS Online

Berita Terkait