ITS News

Senin, 17 Juni 2024
26 Desember 2018, 19:12

Abu-abu Penegakan Toleransi di Indonesia

Oleh : itsmis | | Source : -

Kampus ITS,

Opini, ITS News – Dari tahun ke tahun perayaan Natal di Indonesia selalu dikaitkan dengan semangat toleransi antarumat beragama yang majemuk. Tak sedikit pula media massa yang mengangkat isu-isu toleransi saat datangnya hari raya umat kristiani ini. Lalu pertanyaan pun muncul dalam benak saya, apakah toleransi sudah benar-benar ditegakkan di Indonesia, atau hanya sekadar menjadi wacana?

Jika menengok beberapa tahun kebelakang, semangat toleransi dalam perayaan Natal kerap diwarnai dengan catatan kelam. Mulai dari insiden pelarangan kegiatan peribadatan, penyerangan gereja, sampai bentuk teror bom. Bisa dibilang tingkat kerawanan saat berlangsungnya perayaan hari raya ini lebih tinggi dibandingkan dengan perayaan hari raya lain.

Dalam kehidupan modern, diskriminasi agama menjadi sebuah ironi. Agama adalah batas paling privat dari setiap individu. Di Indonesia, hak kebebasan beragama pun diakui sebagai hak konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Artinya pembiaran atas terusiknya kehidupan beragama individu atau kelompok adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.

Namun, intoleransi kini menjadi pemandangan yang mudah ditemui. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat peningkatan kasus intoleransi yang masuk dari 74 kasus pada 2014 menjadi 100 kasus pada 2016. Sementara itu, Setara Institute mencatat sepanjang 2017 terjadi 151 pelanggaran kebebasan agama dalam 201 tindakan. Human Rights Watch (HRW) pun mengklaim dengan banyaknya kasus di Indonesia sepanjang 2017 telah memunculkan kesan global pemerintah gagal memerangi intoleransi.

Akar Permasalahan
Konflik antar/intern-umat beragama sesungguhnya memiliki akar masalah yang sama. Setiap pemeluk agama pasti meyakini agama yang dipeluknya paling benar, dan wajar kalau ia berusaha agar orang lain memeluk dan mengamalkan agamanya juga. Yang menjadi permasalahan adalah apabila hal tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga memunculkan ekstremisme, bahkan radikalisme.

Ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama juga terjadi karena kebekuan komunikasi. Dialog antar umat beragama biasanya terhenti sampai pada pemuka agama saja. Selain itu, masyarakat Indonesia dirasa masih sangat rapuh terkait masalah minoritas kehidupan beragama. Perselisihan berbungkus agama kerap dilatarbelakangi adanya spirit minoritas-mayoritas dengan pola pikir atau mindset bahwa mayoritas harus dihargai sebagai yang berhak mengatur.

Begitupun dengan para elite politik, karena terlalu bergairah membicarakan masalah agama dan politik, tak jarang mereka kelewat mencampuradukkan terutama pada musim kampanye. Isu ini sangat rawan dipelintirkan sehingga dapat memicu konflik dalam masyarakat. Netralitas politik terhadap agama dirasa semakin menjadi barang langka. Pada saat yang sama agama juga menjadi entitas yang semakin penting dalam politik.

Upaya yang Diperlukan
Kehidupan yang harmoni hanya dapat tercipta ketika kita memahami etika hubungan antarmanusia, baik yang tertulis (hukum) maupun yang tidak, yaitu nilai-nilai yang diakui bersama sebagai kepatuhan. Pada akhirnya, hal ini terkait perilaku manusia atau budi pekerti.
Disinilah peran pendidikan budi pekerti yang perlu ditanamkan sejak dini. Budi pekerti yang baik adalah perilaku yang dapat menghargai perbedaan. Hal ini dapat diwujudkan ketika kita juga dapat memahami kepentingan orang lain dengan segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan beragamanya.

Dalam upaya mengajak orang lain memeluk agama harus mempertimbangkan perasaan orang lain. Tidak boleh dengan paksaan apalagi kekerasan. Disinilah perlu adanya pemahaman ajaran agama yang benar. Yang perlu ditanamkan adalah bahwa perbedaan dalam setiap agama adalah terkait hubungan dengan Tuhan. Sedangkan dalam kehidupan duniawi setiap agama mengajarkan umatnya untuk hidup harmoni tanpa membedakan agama masing-masing.

Untuk membangun kembali solidaritas toleransi antar umat beragama harus ada langkah serius memfasilitasi dialog antar umat beragama. Bukan hanya di level pemuka agama, namun seluruh elemen masyarakat.

Selain itu, perlu adanya kebijaksanaan para elite politik dalam melakukan kampanye agar tidak menggunakan isu agama sebagai salah satu bahan kampanye. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi maraknya ujaran kebencian, berita bohong (hoax), dan konflik masyarakat.

Tentu, merawat toleransi ini perlu bukti nyata, bukan hanya slogan. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika hanya jadi pajangan bila tidak diterapkan. Semoga pada perayaan Natal tahun ini menjadi momentum bagi umat beragama di Indonesia untuk meningkatkan rasa kebersamaannya.

Junia Istingadah
Mahasiswa Teknik Lingkungan
Angkatan 2017
Reporter ITS Online

Berita Terkait