ITS News

Sabtu, 20 April 2024
02 November 2017, 07:11

Atasi Disparitas Dengan Pengembangan Pulau dan Desa Berkelanjutan

Oleh : gol | | Source : -

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasa disebut NKRI adalah negara di mana kita berdiri saat ini. Ada suatu yang menarik di kata NKRI. Kenapa harus ada kata kesatuan di situ? Kenapa tidak Republik Indonesia saja atau kenapa harus kesatuan dan tidak Negara Kepulauan saja? Penyematan kata “kesatuan” pada kalimat tersebut rupanya tidak main-main.

Selain, melambangkan semangat dan tujuan kesatuan Republik Indonesia yang punya beragam suku yang heterogen. Secara lahiriah, Indonesia memang sebuah negara dengan kumpulan pulau-pulau terbanyak di Dunia, Indonesia dikatakan Negara Kepulauan karena menurut United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pasal 47 tentang negara kepulauan ayat 1 yang berisikan bahwa suatu Negara dapat disebut Negara Kepulauan apabila Negara tersebut memiliki luas daratan yang berbanding dengan lautan sebesar 1:1 sampai 1:9.

Pengembangan kelor di kegiatan Sustainable Island Developement di Pulau Poteran, Madura

Sedangkan Negara Indonesia memiliki perbandingan daratan dan lautan diantara 1:1 dan 1:9. Sehingga Indonesia disebut sebagai Negara Kepulauan. Itulah mengapa ada kata Negara Kesatuan sebelum kata Republik Indonesia kita tercinta ini.

Fakta dari Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati atau wali kota, pada tahun 2004 menyatakan terdapat 7.870 pulau di Indonesia yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tidak bernama. Di tahun tersebut, terdapat 17.504 total pulau bernama dan tak bernama di Indonesia.

 

Selang berjalannya waktu, di tahun 2017, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengungkapkan, saat ini jumlah pulau di Indonesia terdapat 14.572 pulau. Dengan di antaranya, terdapat 13.466 pulau yang sudah dibakukan oleh Kementerian tersebut. Ternyata masih 1.106 pulau yang belum dibakukan oleh Kementerian itu.

Ada hal menarik di sini, di tahun 2004 jumlah pulau Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri mendapatkan 17.504 pulau. Anehnya, di tahun 2017 pulau tersebut tersisa 14.572 pulau. Ada 2.932 pulau di Indonesia yang tidak terdeteksi keberadaannya apakah hilang, ditelan bumi atau dijual dari rentang waktu selama 14 tahun dari tahun 2004 sampai 2017.

Itu pun belum 1.106 pulau yang belum dibakukan atau diakui kedaulatannya oleh Dunia. Kenapa bisa seperti itu? Mari kita berpetualang ke pulau di Indonesia melalui tulisan ini.

Berbicara mengenai lepasnya pulau yang ada di Indonesia mungkin kita kenal dengan nama-nama pulau berikut yang sempat menjadi headline Dunia akibat perseteruan sengketa pulau antara Indonesia dan negara tetangga. Pulau tersebut yaitu Pulau Sipadan, Natuna, Ambalat, Ligitan atau Timor Leste.

Pulau Sipadan yang dulu adalah sebuah pulau milik Indonesia nyatanya lepas karena Indonesia tidak bisa mengembangkannya (sumber : detiknews.com) Pulau tersebut mendadak diklaim Malaysia menjadi wilayahnya. Kasus yang sempat menjadi isu besar dan membuat hubungan bilateral dua negara ini memanas dengan cukup lama.

Kasus ini pun dilimpahkan kepada Mahkamah Internasional untuk memutuskan siapa yang berhak atas kepemilikan pulau tersebut. Sayangnya, Indonesia kalah dalam persidangan itu lantaran Malaysia dianggap mampu mengembangkan pulau dengan baik.

Indonesia kalah sengketa hanya karena dianggap tidak mampu mengembangkan pulau Sipadan dengan baik. Bagaimana tidak Negara tetangga kita ini berhasil membangun resor hingga Pulau Sipadan menjadi tujuan wisata unggulan. Sebelumnya Pulau Sipadan hanyalah pulau kosong yang ditelantarkan oleh Indonesia.

Beralih ke Sipadan kita lanjutkan perjalanan ke pulau Ligitan, wilayah Pulau Ligitan dikenal dengan keindahan alamnya yang memesona. Saat malam biasanya akan banyak sekali penyu menuju Pulau Ligitan untuk menaruh telurnya hingga menetas.

Sayang, Indonesia lagi-lagi harus melepas Pulau dengan keindahan alam yang eksotis ini karena kelemahan argumen hukum yang dimiliki oleh bangsa ini. Pulau dengan luas hanya delapan hektar ini akhirnya jatuh ke pelukan Malaysia setelah memenangkan sidang di Mahkamah Internasional. Kehilangan pulau ini sama halnya dengan kehilangan harta berharga.

Kehilangan dua pulau tersebut menjadi pukulan telak bagi bangsa kita lantaran kedua pulau tersebut lepas karena tidak siapnya Indonesia dalam menjaga dan mengembangkan pulau tersebut. Tidak menutup kemungkinan beberapa pulau lain di Indonesia pun bisa jadi mengalami permasalahan serupa.

Permasalahan karena Indonesia tidak dapat mengembangkan pun sudah menjadi dongeng lama. Di mana pulau besar yang ada di Indonesia sendiri pun tidak merata pembangunan infrastrukturnya. Kesenjangan harga antara luar dan dalam Pulau Jawa menjadi bukti bahwa Indonesia mengantu sistem sentris atau terpusat hanya pada satu pulau. Padahal Indonesia tidak hanya Pulau Jawa saja. Lantas apa yang bisa kita lakukan?

Salah satu program pengembangan berkelanjutan yang pernah saya ikuti adalah Sustainable Island Development Initiatives (SIDI) besutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan Wismar University Jerman. Program tersebut tidak mungkin bisa saya ketahui jika saya tidak pernah terjun liputan ketika bergabung di salah satu unit media di bawah Humas ITS, yaitu ITS Online.

Program SIDI menawarkan pengalaman menarik untuk mengembangkan dua pulau yang tidak tersoroti di Indonesia namun kaya akan sumber daya alam seperti Pulau Poteran dan aset wisata seperti Pulau Maratua. Pengembangan berkelanjutan program ini pun dijadikan penelitian bertahap selama tiga tahun berturut-turut untuk menjaga kelanjutannya.

Saat ini, dua pulau tersebut sudah memiliki grand design aset dan sumber daya alam yang bisa dipromosikan di mata Dunia. Pulau Poteran dengan lokal komoditi kelor dan rumput lautnya yang sudah siap go international. Sedangkan, Pulau Maratua dengan konsep resor wisata yang apik dan siap memikat wisatawan asing untuk datang berkunjung.

Permasalahan yang terjadi tidak lepas dari peran semua anak bangsa dan pemerintah dalam membangun Indonesia. Mengandalkan pemerintah bukan lah jawaban untuk menyelesaikan permasalahan menangani disparitas pembangunan yang hanya berkutat pada pulau besar yang ada di Indonesia.

Tidak hanya pulau, daerah Tiga T (Terdepan, Terluar dan Teringgal) yang tidak terjamah dapat menjadi aksi atau eksekusi baru untuk dikembangkan. Beberapa program seperti Desamembangun.id nyata telah memberikan perubahan sedikit demi sedikit terhadap desa di Indonesia yang menyandang predikat 3T.

Salah satu desa yang dapat diambil contoh adalah Desa Kaliabu, Magelang. Desa yang terkenal dengan sebutan Kampung Desainer tersebut gara-gara penyebaran tular desain dari seorang pemuda ke pemuda di desa tersebut. Siapa sangka desain dari kampung tersebut dapat tembus di tingkat Internasional dan dapat meraup untung sekian puluh juta rupiah per bulan.

Singkat cerita, penularan virus desain dari seorang pemuda di desa tersebut berhasil mengajak pemuda desa di sekitarnya untuk ikut belajar membuat logo. Setelah tertarik dan belajar meski dari nol. Semangat belajar yang tinggi, keuletan, kesabaran dan ketulusan membuat banyak pemuda desa di sana bisa dan tidak pelit untuk berbagi menularkan virus desain.

Disparitas pendidikan pun telah digalakkan melalui program Indonesia Mengajar yang telah menyebarkan para pengajarnya di daerah 3T untuk membangun Indonesia di sektor pendidikan. Di mana lagi-lagi pemuda sebagai motor penggerak program ini.

Seharusnya, gerakan pemuda yang berfokus pada pengembangan desa atau pulau berkelanjutan sudah mulai digalakkan. Alih-alih mengembangkan start-up dalam bentuk prototipe aplikasi. Pemuda Indonesia menurut saya harus lebih banyak terjun ke masyarakat sehingga pengembangan prototipe aplikasi yang mereka kembangkan berangkat dari permasalahan yang ada di pedesaan atau pulau terpencil di Indonesia.

Walau sudah banyak universitas yang membuka program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah terpencil saya rasa hal tersebut masih kurang mengingat jangka waktu pelaksanaan program yang tidak sampai satu tahun. Sehingga pengontrolan implementasi gagasan yang diterapkan tidak dilihat perkembangannya.

Gerakan 1.000 desan & pulau sejahtera adalah salah satu cara untuk memerdekakan desa dan pulaupulau di Indonesia. Di mana program ini mempunyai target setiap tahunnya memerdekakan 1.000 desa atau pulau terpencil di Indonesia agar dapat menjadi pulau dengan revenue generator sendiri.

Sekaligus mengajak para fresh graduate untuk terjun langsung ke masyarakat agar kembali ke daerah asalnya dan mencari desa atau pulaunya yang belum berkembang. Gagasan program ini akan dimulai dengan observasi lalu perencanaan kemudian implementasi dan terakhir adalah kontrol.

Sayangnya, masih banyak sarjana muda yang belum tergerak hatinya untuk memerdekakan pulau dan daerah 3T di Indonesia. Kurangnya informasi mengenai beberapa program yang sangat apik ini menjadi salah satu penyebab.

Selain itu, iming-iming tawaran gaji tinggi dari perusahaan multi-nasional membuat mereka yang pintar dan dulunya penggiat sosial saat masih menjadi mahasiswa kehilangan idealismenya. Namun, tak dapat dipungkiri, sebagai generasi penerus bangsa, sudah saatnya juga bergerak sendiri tanpa perlu fasilitas yang disediakan dengan bermodalkan kemauan.

When there’s a will there’s a way. Dari Pemuda Membangun Bangsa.

 

Irvan Cendickya Wira’artha

Alumnus Departemen Manajemen Bisnis 2013

Koordinator Liputan ITS Online 2016

Berita Terkait