ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
06 September 2017, 03:09

Teknologi dan politik

Oleh : Dadang ITS | | Source : CNN

Lucu apa yang di alami oleh para politisi dan pejabat di negara ini ketika harus berhadapan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (baca: internet). Kasus seperti tekanan dari jejaring sosial hingga SMS gelap masih menjadi perdebatan yang di coba di tarik ke ranah hukum dengan gaya politik para pelaku yang mengganggap dirinya sebagai korban. Masih panas di media kasus seperti penggunaan dukungan 1 jt facebook user, fitnah di twitter hingga blog yang muncul kemudian di hapus dst. Sepertinya para wakil rakyat, pejabat dan politisi baru melihat bagaimana power dari perkembangan arus teknologi yang mampu memberikan informasi lebih cepat dari apa yang mereka bayangkan. Berbagai cara di gunakan untuk menghentikan arus tersebut baik dengan menanggapi secara membabi buta hingga menggunakan media pasal yang terkorelasi dengan hukum. UU ITE menjadi salah satu jembatan untuk hal tersebut padahal tujuan dari pembentukan UU itu sendiri bukan untuk membelenggu kebebasan rakyat dalam berekpresi baik di dunia nyata maupun maya. Lebih teknis lagi mari kita coba ambil sebuah contoh tentang kasus Twitter yang di sebut sebagai sarang subversif oleh sebagian politisi dan pejabat.  Twitter sebagai salah satu media jejaring sosial menggunakan media internet sebagai jalurnya. Pada situs ISOC (https://www.isoc.org/internet/conduct/truth.shtml), Vinton G. Cerf menuliskan:

Truth is a powerful solvent. Stone walls melt before its relentless might. The Internet is one of the most powerful agents of freedom. It exposes truth to those who wish to see it. It is no wonder that some governments and organizations fear the Internet and its ability to make the truth known.

Bahwa para penguasa baik itu pejabat, wakil rakyat hingga presiden memang sepantasnya memperhatikan media ini karena disanalah setiap suara individu dari sebagian rakyat menuliskan kejujuran serta apa yang di alami dan di dengarnya.  Tetapi lebih lanjut Vinton mengatakan :

But the power of the Internet is like a two-edged sword. It can also deliver misinformation and uncorroborated opinion with equal ease. The thoughtful and the thoughtless co-exist side by side in the Internet’s electronic universe. What’s to be done

Disini lah peran para pelaku politik untuk ikut memberikan perimbangan data dan juga pembuktian kinerja agar masyarakat bisa mempercayainya. Dan bukan dengan melakukan metode “pembumihangusan” dengan menyalahkan media yang ada. Sebagai contoh adalah kasus Sdr. MN yang masih terus di bahas di media saat ini, dimana ada SMS Gelap, Blog dan Twitter Acount yang muncul atas namanya yang mencoba melakukan perimbangan dari setiap tuduhan yang di arahkan kepadanya.  Tetapi aneh subtansi yang di tangkap oleh para politisi dan pejabat kita justru mencari siapa yang melakukan hal tersebut dan bukan isi dari hal tersebut. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informasi dengan mudahnya tanpa mempertimbangkan mengatakan bahwa pelakunya bisa di jerat dengan UU ITE yang dalam analisa penulis sedikit aneh, karena apabila melihat subtansinya adalah penyebaran maka banyak sekali orang atau individu yang bisa di jerat. Sebut saja setiap orang yang memforward SMS tersebut atau melakukan Retweet dari isi pesan tersebut bisa terjerat. Di lain sisi sang menteri mengatakan bahwa sulitnya melakukan tracking terhadap pesan tersebut. Sebagai salah satu pemerhati di bidang teknologi informasi dan hukum, saya hanya bisa tersenyum malu bagaimana hal ini bisa terjadi. Mungkin para profesional dan pakar teknologi perlu turun gunung untuk memberikan pencerahan kepada para pejabat, politisi dan wakil rakyat agar mampu mengolah arus teknologi informasi yang semakin cepat dan membutuhkan pemikiran luas tentang makna teknologi informasi dan komunikasi yang menjembatani sebagaian suara rakyat. Untuk detail teknis tentang PoliTIK akan penulis jabarkan dalam artikel selanjutnya.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Teknologi dan politik