ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
01 Januari 2017, 16:01

Mengukur Kesiapan ITS Menjadi Universitas Kelas Dunia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Deklarasi ITS untuk naik ranking tahun ini tentunya bukan janji yang mudah dilunasi. Bagaimana tidak, saat ini saja ranking ITS menurut Quacquarelli Symonds World University Ranking (QS WUR) masih berada pada band 701+ dunia.

Memang tidak ada patokan khusus bagaimana sebuah perguruan tinggi layak disebut berkelas dunia. Namun, Kemenristek Dikti berpegang pada pemeringkatan QS WUR. Pemeringkatan dunia yang berbasis di Amerika Serikat tersebut dinilai lebih komprehensif. Perguruan tinggi yang berstatus badan hukum (PTN-BH, red) seperti ITS, ditargetkan mampu menembus peringkat 500 besar dunia versi QS WUR, agar layak disebut WCU.

Saat ini, terdapat sembilan perguruan tinggi (PT) di Indonesia yang masuk ke dalam pemeringkatan  QS WUR. Namun, hanya dua PT yang berhasil membobol peringkat 500 besar dunia, yakni Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Melejit naik dari angka 701+ ke peringkat 500 memang sekilas nampak mustahil, kalau tidak terlalu optimis. Atau, apakah sebenarnya ITS memang mempunyai jurus rahasia untuk menjadi WCU tahun 2023 nanti?

Jika ditelisik dari metode penilaiannya, QS WUR memiliki enam indikator penilaian. Mulai dari reputasi akademik sebagai indikator paling krusial, diikuti oleh perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa, jumlah sitasi penelitian yang dimiliki dosen, reputasi alumni di dunia kerja, rasio jumlah pengajar internasional, dan rasio jumlah mahasiswa internasional dalam kampus.

Reputasi Akademik
Academic reputation atau reputasi akademik tentu tidak lepas dari akreditasi departemen, baik akreditasi nasional maupun internasional. Saat ini, ITS baru mengantongi empat sertifikasi dari Asean University Network Quality Assurance (AUN-QA) untuk empat departemennya. Di daftar antrean, terdapat 22 departemen lain yang menunggu proses sertifikasi.

Itu baru sertifikasi dalam tingkat ASEAN. Di tingkat dunia, Teknik Industri menjadi satu-satunya departemen yang tersertifikasi Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET).

Masalah sertifikasi ini tentunya akan merembet ke berbagai masalah lain. Seperti manajerial departemen dan peningkatan jumlah dan kualitas tenaga pendidik. Kondisi ITS saat ini adalah jumlah professor di ITS baru sembilan persen dari total dosen bergelar S3. Sedangkan jumlah dosen bergelar S3 baru mencapai 40 persen dari total dosen di ITS.

Ini juga merupakan masalah krusial, mengingat 20 persen penilaian QS WUR adalah dari poin student to faculty ratio. Poin ini dinilai dari perbandingan jumlah dosen dengan mahasiswanya. Semakin kecil rasio antara jumlah dosen dan mahasiswa, semakin efektif pula proses belajar-mengajar.

Sayangnya, seperti yang diketahui, tiap tahun ITS menerima lebih dari 5000 mahasiswa baru. Hingga saat ini, kelas-kelas di semua departemen ITS masih berisi 30 hingga 50 mahasiswa per kelas. Ada tuntutan sendiri bagi ITS untuk melahirkan teknisi dan sarjana baru untuk membangun negeri ini, untuk itulah tak mungkin jika ITS mengurangi jumlah penerimaan mahasiswanya. Untuk itulah, student to faculty ratio jelas bukan kekuatan utama ITS.

Poin selanjutnya yakni employer reputation sebesar sepuluh persen dari total penilaian. Employer reputation dinilai dari berapa persen lulusan PT yang bekerja sesuai bidangnya. Selama ini sudah seberapa tahu mahasiswa ITS mengenai pekerjaan alumninya. Apakah data demikian mudah untuk diakses oleh mahasiswa?

Dilema Dana Penelitian
Indikator keempat tak lain adalah research citation per faculty member. Poin penilaian ini terkait seberapa banyak paper di sebuah jurnal yang disitasi oleh peneliti di jurnal lain. Semakin banyak karya tulis dosen ITS yang dikutip oleh peneliti lain, semakin banyak pula skornya. Diketahui, QS WUR memperoleh data sitasi dari Scopus, pengindeks publikasi dan sitasi riset terbesar dunia.

Jika diuraikan, masalah riset perguruan tinggi ini seperti mengurai benang yang kusut. Di satu sisi, sangat krusial bagi perguruan tinggi sekelas ITS untuk mulai mendomplang riset dosennya. Di sisi lain, riset di perguruan tinggi harus tercekik oleh dana riset yang cekak. Itu baru untuk masalah riset, belum lagi masalah publikasi.

Jangan bayangkan jika publikasi riset itu murah. Semakin prestisius jurnal yang menerbitkan sebuah penelitian, semakin mahal pula biaya yang harus dibayarkan. Sementara itu, jika ingin jumlah sitasi penelitian melonjak, maka peneliti ITS harus menembus publikasi di jurnal-jurnal dengan impact factor yang besar. Semakin tinggi impact factor sebuah jurnal, menunjukkan bahwa jurnal tersebut memiliki dampak yang besar.

Kalau sudah begini, tidak ada solusi lain yang bisa diberikan kecuali kerjasama dengan industri atau hibah dari lembaga penelitian luar negeri. Atau, jika kembali ke tindakan klasik, ITS juga bisa menuntut pemerintah.

Disebut-sebut, hanya 0,09 persen dari total dana APBN yang dikucurkan untuk pendanaan riset di Indonesia. Belum lagi isu tentang pemangkasan dana pendidikan bagi PTN yang berstatus PTNBH. Cukup tidak adil memang, jika pemerintah berharap ITS bisa menghasilkan output maksimal dengan dana investasi minimal.

Namun untungnya ITS terlahir di bumi bonek (bondo nekad, red). Yang berarti ITS perlu mengerahkan segala kreativitasnya untuk menambal kurangnya dana investasi pemerintah. 

Gerakan ITS Campaign
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan ke ITS adalah dengan mengadakan kampanye riset. Jika mengintip perguruan tinggi di luar negeri seperti di Amerika Serikat dan Inggris Raya, bisa dilihat bila universitas tersebut tak sungkan membuka jalur lebar untuk donasi.

Perguruan tinggi seperti California Institute of Technology (Caltech), University of California Los Angeles (UCLA) hingga University of Cambridge bahkan meminta donasi riset hingga 2 milyar USD secara terbuka melalui website mereka. Mungkin hal ini bisa menjadi salah satu gebrakan ITS di masa depan, jika ITS enggan mengandalkan pemerintah.

Terlepas dari problematika riset di ITS, kita masih harus memikirkan dua indikator penilaian lain. Yakni international faculty ratio dan international student ratio. Dua indikator ini bertujuan untuk menilai seberapa sukses suatu universitas dalam menarik akademisi asing. Poin ini didasarkan pada proporsi mahasiswa internasional dan anggota fakultas di institusi tersebut.

Peningkatan nilai dari indikator ini dapat didasarkan pada jumlah kelas internasional pada setiap departemen. Jika banyak kelas internasional yang disediakan, maka mahasiswa asing juga akan meningkat. Sementara itu, pernahkan anda menghitung berapa kelas berbahasa Inggris yang berjalan maksimal di jurusan anda?

Lagi-lagi, 2017 sudah di depan mata. Dengan kondisi ini, maka sudah jelas ada segunung PR yang harus dikerjakan ITS selama tahun 2017. Namun, perlu diingat jika tugas ini bukan milik tim WCU atau pimpinan ITS saja. Seluruh  civitas academica ITS tentunya harus sadar tentang pentingnya kerjasama antar individu di ITS. Lantas, sudah menginjak 2017, apakah Anda punya solusi mujarab untuk mewujudkan resolusi ITS tahun ini?

Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait