Indonesia, lanjut Jafni, adalah salah satu dari empat negara Asia yang mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia di Asia untuk kedua kalinya. "Namun kita saat itu masih belum diberi kesempatan," ujar mahasiswa Arsitektur ITS ini kepada ITS Online.
Dijelaskan Jafni, alasan ditolak karena Indonesia adalah satu-satunya negara pencalon yang tidak mendapat dukungan resmi dari pemerintah. Meskipun ada dukungan dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault yang menjabat saat itu, pada 2010 silam FIFA mengumumkan bahwa pencalonan Indonesia ditolak. "Ini karena Indonesia belum menyerahkan dokumen dan jaminan yang dibutuhkan sebagai persyaratan pencalonan," terangnya.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, merasa bahwa pencalonan ini tidak akan didukung oleh rakyat. Padahal, Jafni yakin bahwa tidak semua asumsi pemerintah itu benar. "Pemerintah berfikir masih banyak rakyat yang membutuhkan uang untuk pangan ketimbang hanya giat membangun untuk persiapan piala dunia. Ini tidak sepenuhnya benar," ujar mahasiwa berkacamata ini.
Indonesia memiliki posisi yang tidak menguntungkan saat itu, kata Jafni. Terlebih desakan-desakan yang tertuju kepada presiden saat itu. Namun, Jafni yakin jika ditelaah kembali, ada banyak sekali negara "eks-tuan" rumah yang merasakan efek positif dari perhelatan piala dunia.
"Contoh terdekat adalah Perancis, hanya dengan menjadi tuan tumah euro saja seluruh infrastruktur termasuk transportasi super terbangun dengan baik. Di samping itu, uang pembangunan bisa kembali hanya dari penjualan tiket," ungkapnya. Di luar itu semua pemerintah Perancis mendapatkan keuntungan fantastis sebesar 13 triliun ditambah jumlah wisatawan yang terus bertambah hingga saat ini.
Menggalang Pergerakan
Jafni dan Fikri memang tidak menyangkal bahwa peluang Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026 masih kecil. Namun, bila pemerintah terus mendorong dan berupaya keras, tidak tertutup kemungkinan Indonesia terpilih sebagai host pergelaran akbar sepak bola dunia itu. "Kami sudah menghitung peluang Indonesia terpilih itu pada 2026," ungkap Fikri.
Untuk itu, mereka pun akan terus menggelorakan semangat optimisme Indonesia bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026. Selain lewat kegiatan-kegiatan di kampus, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan semangat tersebut. Hingga saat ini, jutaan dukungan pun telah dikantongi. "Ini juga atas bantuan media massa yang turut serta membantu publikasi," tutur pria kelahiran Kota Semarang ini.
Fikri menceritakan, sudah sejak dulu ia ingin membuat sesuatu yang "wah" untuk kepentingan orang-orang banyak. Lebih tepatnya, selama kuliah di ITS ia ingin bisa meninggalkan jejak positif bagi mahasiswa-mahasiswa lain. "Khususnya ketika berbicara tentang mimpi, orang-orang banyak yang menyepelekan mimpi besar sedangkan kami berusaha mewujudkan itu dari langkah kecil seperti ini," ucapnya. Hingga terwujudlah konsep desain stadion piala dunia 2026 yang dilaunching pada (17/8) kemarin agar bisa curi start bidding dibanding negara lain.
Meski masih berstatus mahasiswa, lanjutnya, tidak berarti kita tidak bisa bertindak apa-apa untuk keberlangsungan Indonesia. Perihal pemenangan tender, konstruksi, perijinan, keuangan dan segala regulasinya akan ada pihak sendiri yang berwenang menangani. "Tetap yang paling penting adalah sejauh mana kita mampu berkontribusi untuk Indonesia," tandasnya.(owi/hil)