ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
18 Agustus 2016, 21:08

Budaya Madura Antarkan Lintu Raih Gelar Doktor

Oleh : Dadang ITS | | Source : -
Lintu Tulistyantoro menjelaskan, pemilihan Madura sebagai objek disertasinya, lantaran budaya unik yang dianut di Madura. Misalnya saja mengenai susunan keluarga yang tinggal dalam satu rumah. "Biasanya, di Indonesia, satu rumah bisa memuat beberapa keluarga. Tapi di Madura, satu rumah hanya untuk satu keluarga dengan atap masing-masing," terangnya.
Meski berdekatan, lanjut Lintu, masing-masing keluarga inti memiliki bangunannya sendiri. Sedangkan satu keluarga besar berada dalam satu kawasan dengan satu halaman tengah sebagai pusat sosialisasi keluarga besar.
"Nah, dari sini sudah kelihatan pola berhuni di Madura, berbeda dengan Barat. Juga bisa dilihat tentang fungsi tiap ruang, juga statusnya" jelasnya kepada ITS Online.
Tak hanya itu, Lintu juga menceritakan bahwa di Madura, perempuan menjadi  inti dari ruang. Hal tersebut lantaran perempuan menjadi simbol privasi suatu ruang. Kalau tidak ada perempuan, maka tidak perlu ada ruang. "Kenapa? Karena laki-laki tidak butuh privasi dan dilindungi, malahan harus melindungi," ucap Lintu. 
Perbedaan privasi versi barat dan Madura, sambung Lintu, adalah tentang pola sosialiasasinya. Jika di barat, sosialisasi tidak mengenal batasan. Berbeda dengan Madura yang memiliki beberapa segmen sosialisasi. Seperti perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, dan antar anggota keluarga.
Dari pola privasi tersebut, terciptalah ruangan-ruangan sendiri. Meskipun tidak ada batasan fisik (imajiner), tapi batas mayanya jelas. "Laki-laki tidak mungkin masuk ke area perempuan, begitupun sebaliknya," ujarnya mengumpamakan. Batasan ini dikenal dengan sebutan paghar di masyarakat Madura sebagai penentu batasan inside dan outside suatu hunian.
Tak hanya tentang kebudayaan antara Madura dan Barat, Lintu juga melihat iklim yang ada di Indonesia dan barat. Jika barat adalah negara empat musim, berbeda dengan kita yang hanya dua musim. 
Di Barat, mereka membentuk interior untuk melindungi dari iklim yang ekstrim. Sedangkan di Indonesia, hujan dan panas, dianggap sebagai seusatu yang bergantian dan tidak membahayakan. "Tidak perlu terlalu dingin dan tidak juga terlalu panas, ya suhunya normal-normal saja," ujarnya. Sehingga pola berhuninya pun jadi berbeda.
 
Menurut Lintu, ini merupakan satu tantangan baru. Selama ini, pendidikan interior yang diajarkan kepada mahasiwa yaitu tentang Kebudayaan Barat. Tak khayal jika Lintu akhirnya memunculkan satu teori baru tentang cultural interior, dimana interior ditelaah berdasarkan budaya. 
"Saya baru memulai penelitian yang lebih luas lagi, keluar dari Madura. Saya juga punya komunitas tentang ini, sehingga diharapkan statement yang keluar nanti bahkan bisa lebih kuat lagi tidak hanya dari saya saja," harap pria kelahiran Wonosobo, 53 tahun silam ini. (owi/oti)

Berita Terkait