Di Surabaya, sistem pertanian perkotaan atau urban farming sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2009. Namun sayangnya kondisi yang ada saat ini sangat dipertanyakan keberlanjutannya.
Dalam seminar bertajuk Challenge of Urban Agriculture to Support Sustainable Livelihood, Jumat (22/7) ini, Dr Ir Eko Budi Santoso LicRerReg membeberkan pendapatnya.
"Jika dilihat memang miris. Data menunjukkan setiap tahunnya jumlah penggiat aktifitas ini semakin menipis. Bahkan hampir berkurang 100 tim setiap tahunnya," ungkap Eko.
Meski begitu, tambahnya, jumlah sedikit sebenarnya tidak menjadi persoalan. Asalkan kegiatan semacam ini dilakukan secara masif dan merata ke seluruh wilayah Surabaya. "Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan di sini," ujar dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITS ini.
Walau terbilang baik, nyatanya kondisi urban farming di Surabaya masih di bawah target. Pemerintah menyasar angka 62,76 persen sedangkan saat ini Surabaya baru berada di angka 47 persen. "Sehingga perlu ada kebijakan lagi yang diberlakukan oleh pemerintah," tambah Eko.
Kebijakan dirasa perlu karena masih banyak masyarakat yang enggan bercocok tanam. Alasan yang paling umum diantaranya adalah banyaknya biaya tambahan yang harus dikeluarkan, seperti biaya air untuk menyiram.
Keengganan masyarakat yang demikian menyebabkan banyak pemilik lahan pertanian lebih memilih menjual lahannya kepada pengembang konstruksi. "Tercatat 80 persen lahan pertanian kini milik mereka para pengembang," papar doktor lulusan Universitas Brawijaya ini.
Mirisnya kondisi ini juga terjadi di Kampung Sambiserep, Surabaya, yang setiap tahunnya menghasilkan 6000 ton cabai merah sebagai komoditas. "Jika lahan-lahan cabai dibeli oleh para pengembang, apakah kita bisa mempertahankan jumlah tersebut?†pungkas Eko. (arn/hil)