Wanita yang hidup di jaman sekarang adalah wanita yang beruntung. Kita bebas menyulam gelar sepanjang mungkin, bebas memilih jadi petani hingga presiden, bebas memilih wakil rakyat, atau bahkan tidak memilih.
Namun apakah nasib wanita selalu begitu?
Pada tahun 1281, terdapat konferensi di Perancis yang
membahas apakah wanita adalah manusia atau bukan. Di India, wanita dilarang
duduk di kursi seperti suaminya. Bahkan ketika Islam telah menyebar di negeri kita
dan di Kitab-nya telah tertulis jika wanita dan pria berderajat sama, budaya patriark
(laki-laki lebih superior dari wanita) masih subur mengikat para wanita yang
ingin melihat dunia yang lebih besar dari dapur,
sumur dan kasur.
Jika memang derajat pria dan wanita adalah sama, tidak akan
ada Virginia Woolf yang mati-matian menulis kesetaraan lewat bukunya. Tidak ada
Emily Davidson yang harus dipenjara berkali-kali karena menganggap wanita dan
pria harusnya punya hak suara yang sama. Jika memang derajat wanita dan pria
dianggap sama, Kartini tidak akan pernah menulis surat-surat kepada temannya di
Belanda mengenai emansipasi wanita.
Kenyataannya, derajat wanita dan pria memang tidak sama.
Kita sendiri yang berkata seperti itu. Tatanan sosial yang dibuat manusia telah
membuat konvensi mengenai hal tersebut. Untuk itulah saya akan sangat
berhati-hati bila berbicara mengenai kodrat. Karena bisa jadi apa yang kita
anggap kodrat hanyalah sebuah konvensi dari tatanan sosial.
Kesepakatan tidak tertulis tentang wanita yang paling
sering saya dengar adalah wanita harus lemah lembut. Hal lainnya adalah
larangan bagi wanita untuk terlalu mandiri, wanita harus bergantung pada
pria, dan banyak hal lain yang anda sudah pasti mendengarnya.
Bahkan konvensi tersebut tergambar dari citra RA Kartini
yang tampil di lukisan yang dipajang di sekolah-sekolah dan film-film tentang Kartini.
Dimana Kartini ditampilkan sebagai sosok yang keibuan dan kalem. Menurut saya
sangat Ironis bila kita memperingati hari Kartini dengan memakai kebaya dan
tampil se-feminin mungkin. Karena dalam masa hidupnya, Kartini berusaha
menggebrak semua opini tersebut. Kenyataannya, Kartini adalah feminis pertama
di Indonesia.
Sayangnya kata feminis atau emansipasi adalah dua kata
yang takut diucapkan oleh para perempuan. Bagaimana tidak, feminisme sering
kali dianggap identik dengan pemberontakan, kebencian kepada pria hingga tidak
religius. Siapa wanita yang suka dianggap seperti itu?
Emansipasi wanita pada dasarnya adalah gerakan untuk
melepaskan diri dari tatanan sosial yang saya sebut di atas. Tatanan sosial
yang dulu membelenggu wanita untuk cerdas dan berkembang. Jika ada seorang
wanita yang berkata dia menjunjung emansipasi dan mengabaikan keluarganya, yang
salah bukan emansipasi wanitanya, tapi pelakunya.
Banyak juga opini yang berkata jika wanita yang
buka-bukaan, hingga kontes kecantikan yang mengekspos fisik wanita adalah efek
buruk dari emansipasi wanita. Menurut saya itu pendapat yang salah kaprah.
Kontes atau komersial yang mengekspos fisik wanita justru
adalah musuh seorang feminis. Hingga saat ini, dunia hiburan hingga komersial
masih sering mengeksploitasi wanita. Ini merupakan bukti bahwa budaya patriarki
sejak jaman Romawi dan Yunani yang menjadikan wanita sebagai obyek seksual
masih kental di kehidupan kita.
Lebih parah karena banyak orang yang memanfaatkan salah
kaprah ini untuk menyerang para feminis. Jadilah terbentuk opini bahwa semua
feminis pasti membenci laki-laki dan mencoba lari dari kodratnya. Yang saya
rasa semua orang perlu pahami, feminisme membenci tatanan sosial yang
menjadikan wanita sebagai penghuni kasta lebih rendah di hierarki sosial, bukan
laki-laki.
Mungkin sekarang tatanan sosial sudah melonggarkan
belenggunya pada wanita. Namun belenggu itu masih terasa. Jika ada yang salah
dengan keluarga, yang disalahkan akan langsung wanita. Hal tersebut karena
tatanan sosial berkata anak adalah tanggung jawab wanita. Setahu saya, anak adalah tanggung jawab baik ayah dan ibu, bukan ibu-nya saja.
Bahkan saya sering menjumpai wanita yang takut untuk
mengutarakan opininya, hanya karena takut dianggap terlalu pintar oleh
laki-laki. Hal ini juga menunjukkan kalau korban tatanan sosial bukan hanya
laki-laki, tapi juga perempuan.
Opini publik tentang idealnya wanita selama ini
sering membuat berbagai tipe perempuan takut untuk menunjukkan jati dirinya.
Seorang wanita yang cerdas malah ditakuti laki-laki. Para wanita merasa
harus jadi seseorang yang rapuh dan lembut dan penurut seperti tipe wanita
ideal tatanan sosial kita. Bahayanya, hal ini juga membuat wanita sering kali
berfikir kekerasan baik fisik maupun psikologis juga merupakan kodratnya.
Untuk itulah sebagai masyarakat modern, kita perlu
bercermin kembali kepada sejarah dan bertanya: mana yang merupakan kodrat dan
mana yang hanya tatanan sosial. Saya percaya bahwa laki-laki tidak lebih baik
dari wanita, begitu pula sebaliknya. Pria dan wanita adalah partner dalam membangun peradaban. Untuk
itulah masing-masing perlu saling menghormati dan bekerjasama.
Saktia Golda S
Mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual 2013
Pertamakali diposkan di: http://saktiagoldas-liskrafb.blogspot.co.id/
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung
Kampus ITS, ITS News — Guna meneguhkan komitmen sebagai World Class University (WCU), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyiapkan