Kira-kira begitulah pertanyaan yang dilontarkan Shatila Jihad Algaff, moderator Talkshow Ideapreneur yang digagas Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMKA) ITS, Minggu (13/3). Shatila mengaku cukup tertegun saat ia mengetahui betapa matangnya persiapan negara-negara ASEAN lain dalam menghadapi MEA.
Pasalnya, Shatila pernah terheran-heran disaat salah seorang temannya yang berasal dari Thailand memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang begitu fasih. "Ternyata, seluruh Universitas di Bangkok mewajibkan mahasiswanya untuk belajar bahasa Indonesia dan China," ungkap Shatila.
Tidak cukup sampai disitu, sang teman kembali membuatnya terhenyak akan pengetahuannya dalam variasi bahasa di Indonesia. "Dia bahkan sudah tahu bahasa orang Jakarta seperti gue dan elo," terang mahasiswi Jurusan Kimia ITS angkatan 2012 ini.
Menanggapi hal tersebut, Maya Monica, Owner Hooplesshop menyikapinya dengan penuh rasa optimis. "Justru dengan adanya MEA akan memudahkan kita dalam memasarkan produk. Bukan hanya fokus di Indonesia saja, tapi mulai merambah ke lingkup Asia Tenggara, mungkin juga ke Eropa atau benua lainnya," tegas Maya.
Senada dengan Maya, Riza Hadiatullah, CEO Macsus Company, memaparkan dampak yang akan ditimbulkan MEA dari dua pihak, produsen dan konsumen. "Untuk produsen, MEA merupakan momok sekaligus tantangan. Sedangkan bagi konsumen, MEA justru menjadi peluang untuk bisa menikmati produk luar negeri," urai Riza.
Diakui Riza, kekhawatiran yang ia rasakan cukup beralasan mengingat perilaku orang Indonesia yang amat konsumtif. Hal ini tercermin dalam kebiasaan orang Indonesia yang doyan gonta-ganti handphone setiap muncul yang baru, sementara handphone yang lama dibuang begitu saja. "Ekonomi di Indonesia itu auto pilot, bisa berjalan sendiri tanpa ada sistem yang mengatur," terangnya.
Menurut alumnus Jurusan Sistem Informasi ITS angkatan 2008 ini, solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mulai mencintai produk-produk asli Indonesia. "Cintai produk Indonesia. Cinta itu tidak hanya menikmati, tetapi juga memberi masukan," tegasnya.
Pria asli Surabaya ini memberikan contoh simpel melalui mobil Esemka yang notabene asli hasil rakitan siswa-siswa SMK di Indonesia. "Semisal Esemka sudah legal, ayo kita pakai," tukasnya. Riza melanjutkan, pola pikir masyarakat terkait harga jual yang mahal juga harus dirubah demi kemajuan Esemka itu sendiri.
"Mobil-mobil buatan Jepang dulunya juga seperti itu. Mereka lalu menerapkan prinsip Kaizen sehingga produknya menjadi lebih baik ke depannya," ungkapnya. Prinsip yang dimaksud merupakan kiat sukses ala orang Jepang, dimana hal yang baik dipertahankan, sementara yang jelek dibuang dan dijadikan sebagai bahan pembelajaran.
"Insya Allah MEA itu baik," ucap Riza mantap. Riza percaya, semua hal yang ada di dunia ini pada dasarnya baik, kecuali yang dilarang dalam agama. Keduanya sepakat memilih untuk tidak mengkhawatirkan MEA.
Ia menyimpulkan, semua itu hanya tergantung dari pola pikir yang dimiliki oleh setiap individu. Pilihannya tinggal dua, mau jadi penakut atau berani ambil peluang. "Saya percaya bahwa MEA bisa jadi momentum untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik," ujar Riza. (fah/man)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung