Ialah Laboratorium Ergonomi dan Perancangan Sistem Kerja (EPSK) yang menjadi persinggahan perdana tim asesor. Di sana, mereka melihat seberapa kuat laboratorium tersedia mendukung proses perkuliahan di JTI ITS. Lebih lanjut, berbagai pertanyaan pun dilontarkan seraya mengonfirmasi segala hal yang termaktub dalam laporan yang dikirimkan JTI sebelum para asesor tiba di Surabaya.
Dalam kunjungannya, Prof David H Owell, salah satu asesor, menyoal karya mahasiswa yang terhampar di laboratorium yang terletak di lantai satu JTI ITS itu. ”Benda apa ini? Belum pernah ada sebelumnya karya seperti ini di tempat kami,” ujarnya heran. Asisten laboratorium pun merespon dengan menjelaskan bahwa Executive Board, karya yang dilihatnya merupakan inovasi yang memudahkan seseorang ketika menyetrika pakaian selepas dikeringkan.
Menurut informasi, Executive Board merupakan karya yang menonjolkan sisi kepraktisan dalam metode penyetrikaan pakaian. ”Jadi, bentuknya menyerupai ukuran baju berlengan panjang yang biasa dikenakan seseorang. Alat ini pun bisa disesuaikan ketika hendak menyetrika celana panjang maupun pendek tanpa harus membolak-balikannya,” jelas Maulida Kurniawati, asisten laboratorium.
Lebih lanjut, Laboratorium Sistem Manufaktur (SIMAN), Laboratorium Komputasi dan Optimasi Industri (KOI), serta Laboratorium Logistik dan Rantai Pasok (LSCM) menjadi sasaran ‘tembak’ tim ABET. Pun dengan Laboratorium Pengembangan Sistem dan Manajemen Industri (PSMI) yang tak luput dari kunjungan secara bergiliran.
Dr Erwin Widodo ST MEng, salah seorang tim panitia ABET JTI ITS turut angkat suara dengan proses penilaian yang dinilainya berjalan mulus. Metode penilaian yang dilakukan asesor pun diakuinya sangat normatif, tidak ada kesan menyerang maupun mencari kelemahan. Terlebih, lanjutnya, mekanisme penilaian justru lebih mengarah kepada hal baik apa yang bisa JTI tawarkan, terutama terkait dengan fasilitas dan staf dari laboratorium itu sendiri.
Dosen sekaligus alumni JTI ITS tersebut menambahkan dalam menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan, baik dosen maupun asisten laboratorium tidak mengalami kesulitan yang berarti. Ia pun optimis JTI mampu meraih akreditasi ABET mengikuti jejak perguruan tinggi lain di Indonesia. "Insya Allah, kalau yang lain bisa kenapa ITS tidak?” tegasnya saat ditemui ITS Online.
Namun, pria yang baru menyelesaikan program doktoralnya di Jepang ini menambahkan lantaran baru hari pertama, hasil sekarang belum bisa merepresentasikan penilaian asesor secara keseluruhan. ”Kan nantinya juga lingkup yang diperiksa tidak hanya JTI saja, melainkan juga birokrasi ITS secara umum,” ulasnya.
Di akhir, ia juga memaparkan, bila ditinjau dari segi persiapan, maka bisa dikatakan persiapan secara data tertulis telah dilakukan sejak 2013 silam. Pun demikian, diyakininya upaya telah terakumulasi sejak belasan tahun silam. ”Baik melalui berbagai program dari JTI maupun akreditasi-akreditasi yang telah diraih sebelumnya,” tutupnya. (n15/man)