ITS News

Sabtu, 20 Desember 2025
20 Desember 2014, 13:12

Ini Wujud Kepedulian ITS Terhadap Pendidikan Inklusi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -
Inclusive Education Award adalah penghargaan yang diberikan kepada individu atau institusi yang telah berjasa dalam memberikan dukungan kepada kalangan berkebutuhan khusus. Dalam hal ini, dukungan yang telah diberikan oleh ITS adalah pengembangan mesin cetak Braille yang digunakan untuk membantu para penyandang tuna netra. 
Menurut Ketua Jurusan Teknik Elektro (JTE), Dr Tri Arief Sardjono ST MT, proyek pengembangan ini sebenarnya adalah tugas mendadak yang diberikan oleh pihak Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PK-PLK). Pasalnya, saat itu permasalahan mengenai rusaknya mesin cetak Braille di beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. "Karena saat itu tidak ada yang peduli dengan hal ini," ujarnya.
Tri bercerita, pada 2000 lalu, pemerintah telah membeli 200 unit mesin cetak Braille dari Norwegia dengan harga yang cukup mahal, yaitu sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per unit. Namun ternyata pada 2010 banyak SLB yang melaporkan tentang kerusakan mesin ini. 
Sayangnya, saat itu pemerintah belum mampu menemukan solusi karena spare parts dari mesin itu sendiri belum bisa ditemukan di Indonesia. "Jadi, mesin ini harus dikirim kembali ke Norwegia untuk diperbaiki jika terjadi kerusakan. Selain biayanya yang cukup mahal, seringkali mesin yang sudah dikirim ke sana tidak pernah kembali lagi ke Indonesia," papar Tri. 
Untuk itulah, lanjutnya, pihak PK-PLK pun menugaskan ITS untuk menjadi tim ahli dalam menangani masalah ini. Meski awalnya sempat ragu, akhirnya Tri dan timnya menerima tugas ini. "Ini kan juga demi kebaikan mereka para penyandang tuna netra, jadi tidak ada salahnya dicoba," tegasnya.
Hingga akhirnya terbentuklah tim pengembang mesin cetak Braille ini. Tim ini terdiri dari dosen dan mahasiswa yang berjumlah sekitar 20 orang. Seluruh anggota tim pun berasal dari JTE. 
Pada dua bulan pertama melaksanakan tugas, tim pengembang mesin cetak Braille ini diharuskan untuk turun langsung ke salah satu SLB di daerah Lawang, Jawa Timur. Setelah melihat kondisi mesin yang saat itu tidak layak pakai, akhirnya tim memutuskan untuk membawa mesin cetak yang rusak tersebut ke ITS untuk diteliti.
Setelah dua bulan meneliti, tim akhirnya mampu memahami mekanisme kerja dari mesin tersebut sehingga akhirnya mesin tersebut mampu mencetak dot pada berkas Braille. Meski begitu, mesin cetak ini masih belum bekerja secara sempurna. Namun, hal ini justru memotivasi tim untuk terus mengembangkan mesin ini.
Melihat perkembangan ini, akhirnya pada 2012 pihak PK-PLK langsung menugaskan tim dari ITS untuk merevitalisasi seluruh mesin cetak Braille di Indonesia. "Setelah ditugaskan, kami langsung turun ke 50 daerah di Indonesia untuk mengontrol setiap mesin cetak Braille di sana," tuturnya. 
Saat itu, Tri menegaskan kepada seluruh anggota tim untuk mau melepas penampilannya sebagai seorang dosen. Karena menurutnya, ketika turun di lapangan, mereka tidak bertindak sebagai pengajar, tapi seorang teknisi. "Kalau tidak mau kotor dengan oli ya jangan menjadi anggota tim kami," tambahnya.
Dosen kelahiran Surabaya ini juga menjelaskan, saat ini timnya telah berhasil menangani 99,99 persen kerusakan yang terjadi pada setiap mesin Braille. "Dulu kami membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk memperbaikinya. Sekarang, kami hanya membutuhkan waktu kurang dari dua jam untuk memperbaiki," jelas Tri.
Tidak hanya berhasil memperbaiki, tim ini ternyata telah berhasil membuat lima prototype mesin cetak Braille baru. Prototype ini selanjutnya akan disebar ke beberapa SLB di Indonesia untuk diuji dan terus dikembangkan. 
Menurut Tri, mesin cetak Braille buatan ITS ini nantinya akan diproduksi secara masal setelah melewati proses uji. Hebatnya, Tri menarget mesin cetak ini akan dibandrol dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang dipatok oleh Norwegia. "Bahkan bisa sampai setengah harga," tegasnya. 
Mesin cetak Braille buatan ITS ini ternyata memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan buatan Norwegia. Salah satu kelebihan yang paling menonjol terletak pada kecepatan mesin dalam mencetak. Jika mesin buatan Norwegia hanya mampu menghasilkan kecepatan mencetak sebanyak 200 karakter per detik, maka mesin ITS mampu menghasilkan kecepatan 400 karakter per detik.  
Diungkapkan oleh Tri, saat ini tim ini juga berencana ingin mengembangkan mesin fotokopi untuk berkas Braille. "Tidak lengkap rasanya jika kita hanya mengembangkan mesin cetaknya. Karena tidak mungkin berkas Braille ini bisa difotokopi oleh mesin biasa," terangnya.
Tidak cukup hanya mengembangkan teknologinya, Tri dan timnya ternyata juga ingin fokus mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) dari SLB itu sendiri. Rencananya, pengembangan ini akan dilaksanakan mulai 2015 mendatang. "Pada dasarnya kan SDM di SLB tidak memiliki latar belakang pendidikan teknis. Untuk itulah kami mendorong mereka melalui berbagai penyuluhan agar mereka nantinya bisa mengoperasikan mesin ini dengan baik," paparnya. 
Keberhasilan Tri dan timnya ini ternyata tidak membuat mereka berhenti bermimpi. Tri mengungkapkan, jika boleh bermimpi, maka ia ingin menjadikan ITS sebagai pusat pengembangan teknologi bagi orang-orang berkebutuhan khusus. "Karena sebenarnya masih banyak tugas kita untuk membantu mereka yang memang memiliki kebutuhan khusus," pungkasnya. (pus/ady)

Berita Terkait