Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FTI, Affan Bahar Rizky F mengatakan, acara ini sengaja disuguhkan kepada mahasiswa agar mereka siap dalam menghadapi AEC. "Masalah ketidaksiapan masyarakat Indonesia terhadap AEC 2015 ini sangat krusial. Dengan adanya workshop ini, diharapkan mereka mampu mempersiapkan diri mereka," tegasnya.
Terdapat dua mahasiswi ITS yang menjadi pembicara dalam workshop kali ini. Mereka adalah Leonardo Pardede dan Raysa Adilia Benarto. Keduanya merupakan volunteer IO ITS. Kegiatan sehari-hari mereka yang selalu berinteraksi dengan mahasiswa asing menjadikan mereka sebagai pembicara yang ditunggu-tunggu.
Untuk mengawali pemaparannya, terlebih dahulu mereka menjelaskan definisi dari Association of Shouteast Asian Nations (ASEAN). Pasalnya, partisipan dari AEC 2015 adalah warga negara ASEAN. Dengan menggunakan video, Leo dan Raysa menunjukkan bahwa ASEAN merupakan wilayah yang pasarnya sangat besar di mata dunia.
Leo memaparkan, AEC merupakan kekuatan pemersatu yang jika seluruh penduduknya digabungkan akan mencapai jumlah 600 milyar jiwa. "Saat AEC dilaksanakan, kita tidak lagi memikirkan negara masing-masing. Tapi, kita akan memulai sebuah kerjasama untuk mencapai kemakmuran ekonomi," ujarnya.
Dilanjutkan oleh Raysa, pemahaman dan persiapan seorang mahasiswa dalam menghadapi AEC 2015 ini sangatlah penting. Alasannya, akan ada persaingan universitas dan keahlian pekerja di tingkat ASEAN saat AEC diterapkan. Dalam hal ini, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi mahasiswa. Di antaranya adalah penguasaan bahasa dan persaingan keahlian kerja. Untuk menggambarkan hal tersebut, mereka memutar sebuah video survei.
Dalam video tersebut, tampak beberapa pengusaha Indonesia yang telah sukses namun kemampuan berbahasa inggrisnya masih sangat kurang. "Ini menunjukkan bahwa mereka belum siap bersaing di luar," tambah Leo.
Untuk memperjelas studi kasus ini, Leo pun mengangkat berita mengenai pengeksploitasian pekerja Indonesia di perusahaan tekstil luar negeri. Ia bercerita tentang baju tim nasional sepak bola Inggris yang ternyata adalah buatan Indonesia. Menurut mahasiswa kelahiran Aceh ini, baju ini dibuat oleh pekerja Indonesia yang hanya digaji Rp 6 ribu per jam. Padahal, di Inggris baju ini dijual dengan harga Rp 1,6 juta. "Lalu apakah hal ini akan terulang kembali dalam AEC 2015 ?" lontarnya kepada peserta.
Selain itu, pentingnya Indonesia Qualification Framework (IQF) pun tak luput mereka sampaikan dalam workshop ini. "Saat bekerja, kita tidak lagi akan ditanyai gelar. Karena mereka akan menentukan kualitas kita dengan parameter ini," terang mereka.
Kehadiran mereka dalam workshop ini ternyata bukan tanpa dasar. Mereka berharap, setelah workshop ini para peserta bisa menyebarluaskan ilmu mengenai AEC. Bukan hanya kepada sesama mahasiswa, tetapi juga kepada seluruh masyarakat. "Kami ingin mereka nantinya benar-benar bisa menjadi agent of change," ungkap Raysa. (pus/guh)