Di abad ke-20, teknologi merupakan sebuah aplikasi sains yang sangat berperan dalam memecahkan permasalahan manusia. Namun, akhir-akhir ini, penerapan teknologi justru menambah beberapa masalah yang tak bisa diselesaikan. Kemiskinan, kesenjangan, dan kerusakan ekosistem dalam skala global adalah sedikit fakta dari abad ke-20 yang semakin memburuk di awal abad ke-21.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Pemahaman terkait pembangunan serta pertumbuhan suatu negara sering kali disalah artikan. Dikatakan Daniel, Indonesia belum bisa menjadi dirinya sendiri. Pembangunan di Indonesia sering kali menggunakan konsep daratan. "Padahal negara kita adalah negara kepulauan," tegasnya.
Sejak orde baru, Indonesia mengadopsi model pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan. Daniel mengatakan bahwa paradigma pertumbuhan di Indonesia mensyaratkan terpusat dan terencanakan dengan disiplin. Sehingga, meremehkan kepentingan kawasan yang tertinggal dan warga miskinnya. ”Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang masih mengadopsi growth-obsessed model (obsesi pertumbuhan, red) juga bakal memperburuk ketidakadilan dan kesenjangan nasional," tambahnya.
Daniel menjelaskan, konsep MP3EI tersebut justru akan merugikan negara kepulauan seperti Indonesia. Obsesi pertumbuhan telah melahirkan model industri yang makin memihak sektor keuangan daripada sektor riil. "Sektor industri maritim adalah sektor yang dikorbankan dalam model pertumbuhan ini," imbuh dosen Jurusan Teknik Kelautan ini.
Kebijakan energi terlalu fokus pada kecukupan pasokan energi, termasuk bauran energinya. Kebijakan yang mengatur kebutuhan energi pun tidak dikembangkan. Karena hal itu dinilai tidak populis alias bertentangan dengan obsesi pertumbuhan. Kebijakan energi didikte oleh kebijakan transportasi yang didominasi kendaraan pribadi dan berbahan bakar tidak terbarukan. "Seperti mobil dan motor pribadi," contohnya.
Konsumsi energi di sektor transportasi semakin mendominasi konsumsi energi perkapita. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pun memperparah kesalahan kebijakan ini. Kenyataannya, masyarakat masih sangat bergantung pada subsidi BBM. "Pada saat ini, kita sudah terjerumus ke dalam single-mode trap yaitu moda tunggal jalan, ketahanan pangan dan energi nasional pun semakin terancam," jelas Daniel.
Ia menambahkan, pembangunan yang adil dan memerdekakan ditentukan oleh pengendalian konsumsi. Sedangkan kebijakan yang terpenting adalah pengendalian kebutuhan konsumsi energi. "Konsumsi harus diarahkan tidak saja pada yang halaalan, tapi juga thayiban (baik, pantas, tidak berlebihan, red)," terangnya.
Di sisi konsumsi, masyarakat harus bisa mengendalikan keinginan dengan mengadopsi gaya hidup baru. Yaitu gaya hidup yang lebih sederhana dan mendorong keadilan antara manusia satu dengan yang lain. "Kita harus keluar dari single-mode trap berbasis jalan pribadi menuju sistem tranportasi multi-moda yang lebih memadu. Terutama transportasi publik antar-kota dan di dalam kota," ujarnya. Seperti membangun kereta api, bus, sungai, dan penyeberangan, serta laut.
Di abad 21 ini, Indonesia perlu memilih modernitas baru yang berbeda dengan Cina. Indonesia harus meninggalkan obsesi pada pertumbuhan yaitu dengan memilih hidup sederhana. "Hidup sederhana mendorong keadilan, dan membuka kemungkinan untuk hidup berbahagia," tutupnya. (guh/fin)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung