ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
30 Juli 2013, 09:07

Lima Hari Bersama Mahasiswa Asean

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Nuansa kota Malang yang identik dengan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari, seketika berubah. Sebanyak 90 anak yang mengikutinya serempak berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Universitas Brawijaya dan International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) memprakarsainya. Karena itu, bahasan utama acara memang berkisar seputar pertanian dan pangan.

Pada hari pertama, para peserta menyatukan pikiran dalam seminar agrikultur. ”Menariknya, Aaman Sulchan MA, pembicara yang berasal dari Belanda tersebut juga menjelaskan tentang cara pemulihan lahan yang dipakai untuk tambang agar tidak merusak lingkungan,” terang Bakhrul. Selama seminar berlangsung, peserta disuguhi aneka jajanan pasar. Para mahasiswa Indonesia pun turut memperkenalkan kue lumpur, lemper dan makanan lain kepada para mahasiswa mancanegara.

Usai seminar, semua peserta dibagi menjadi sembilan kelompok. Epri, Bakhrul, dan Rindang pun terpisah dalam kelompok yang berbeda. Tiap kelompok terdiri dari peserta yang berasal dari negara dan universitas yang berbeda. ”Setelah itu kami diajak untuk bercocok tanam kubis, kentang dan beternak di desa Ngadas,” imbuh Epri.

Di desa Ngadas, semua peserta Iwoca tinggal di rumah penduduk selama dua hari. Cermin kehidupan pedesaan Indonesia memang menjadi daya tarik utama Iwoca. Jadilah para peserta hidup layaknya penduduk setempat. Bakhrul pun harus rela tidur di atas tikar salah satu rumah penduduk desa. ”Untungnya untuk peserta perempuan disediakan kasur semua,” sahut Rindang.

Kegiatan kompetisi masak pun merupakan cerita tersendiri bagi Rindang. Pasalnya, tiap tim ditantang untuk membuat makanan dari bahan-bahan yang ada di desa tersebut. Padahal, lahan perkebunan yang ada umumnya hanya sayur dan kentang. Para tim pun tertantang untuk memasak bahan tersebut menjadi beberapa menu. ”Agak sulit karena cara masak dari tiap negara berbeda-beda, tambah Rindang. Tapi justru dengan cara itu mereka saling belajar tentang kebiasaan memasak dan ciri khas makanan tiap negara yang berbeda.

Lain lagi dengan Epri. Perempuan asal Sukoharjo ini mendapati teman satu tim yang sangat peka terhadap kebersihan. Bahkan, rekan tersebut kurang suka memasak di luar ruangan karena menganggapnya tidak higienis. Akhirnya, Epri dan teman-teman satu timnya pun memasak di salah satu rumah penduduk. ”Nggak nyangka kalau akhirnya timku yang menang lomba masak,” katanya.

Hari ketiga para peserta menjumpai suasana yang sedikit berbeda. Di Ranoregulo, mereka mendidikan kemah. Hawa dingin di area di kaki puncak Semeru itu begitu menusuk. Mahasiswa dari berbagai negara tersebut pun akhirnya saling meminjamkan jaket.

Namun hawa dingin tersebut tak meluluhkan semangat mereka. Keesokan harinya, mereka bersama-sama menuju Bromo. Mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit di puncak Bromo yang terkenal. Sepanjang perjalanan, mahasiswa asing terus-menerus memuji kehindahan alam sekitar. Apalagi ketika berada di jeep di tengah-tengah langit yang cerah bertabur bintang. 

Epri turut kagum, karena teman-teman barunya itu tak ada yang mengeluh dengan kondisi yang mereka hadapi. ”Banyak hal sebenarnya yang dapat dipelajari dari mahasiswa dari negara lain dalam hal pendidikan, tingkah laku, dan kebiasaan,” komentar Epri. Pesta perpisahan di akhir program menjadi waktu yang sangat mengharukan bagi mereka.

Kimleng Datang ke Surabaya
Kimleng, salah satu peserta dari Kamboja, rupanya tak langsung kembali pulang. Jadwal pesawat yang membawanya pulang baru dua hari setelah acara hari terakhir. Epri, Bakhrul dan Rindang pun membawa Kimleng ke berbagai tempat di Surabaya. Termasuk mencicipi aneka kuliner khas, seperti sate kelopo dan lontong balap. ”Saya baru tahu ternyata orang Kamboja seperti Kim tidak suka masakan pedas,” tutur Bakhrul.

Menurut Bakhrul hal yang paling menarik dari Kim yakni optimisnya lelaki tersebut akan kemajuan Indonesia dari negara-negara lain di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan telah banyak beredarnya produk-produk Indonesia di luar negeri, terutama Asean. Padahal menurut Bakhrul, orang Indonesia sendiri saja masih ada yang pesimis akan kemajuan Indonesia. ”Setelah mendengar kata-kata Kim, saya akan tetap optimis agar Indonesia ini dapat menjadi negara maju yang jauh lebih baik dari negara-negara lain,” tutupnya. (sha/lis)

Berita Terkait