ITS News

Rabu, 17 Desember 2025
27 Mei 2013, 20:05

Pemerintah Masih Lambat Atasi Lumpur Sidoarjo

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hal tersebut terungkap dalam seminar tujuh tahun lumpur Sidoarjo yang diadakan ITS Senin (27/5) ini. Bosman Batubara, salah seorang pembicara, menyebutkan bahwa permasalahan lumpur Sidoarjo tidak hanya berkaitan dengan mekanisme ganti rugi pada korban saja. Lebih dari itu, permasalahan ini menyangkut banyak aspek seperti mitigasi bencana, hukum dan HAM, ekonomi serta sosial politik.

Bosman mengatakan, keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah lumpur Sidoarjo disebabkan tidak adanya definisi yang tepat dalam memahami bencana yang terjadi. Selama ini, pemerintah memahami semburan lumpur sebagai bencana teknologi saja. Padahal, bencana tersebut terjadi karena meningkatnya kebutuhan produksi. ”Yang terjadi di Sidoarjo bukanlah bencana alam atau teknologi. Ini adalah bencana industri,” tegas alumni Jurusan Teknik Geologi UGM ini.

Menurutnya, bencana industri bisa terjadi karena kesengajaan manusia untuk tidak mentaati prosedur keamanan produksi. Dalam kasus lumpur Sidoarjo, kesalahan bermula dari kesengajaan PT Lapindo Brantas untuk tidak memasang casing yang tepat pada sumur bor Banjar Panji 1 (BPJ 1). Kesengajaan tersebut bisa jadi disebabkan oleh keinginan menekan biaya produksi. ”Ini terjadi karena pemerintah telah menyerahkan segala permasalah kepada mekanisme pasar,” ujar Bosman lebih lanjut.

Dalam kasus lumpur Sidoarjo juga telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap para korban. Akan tetapi, Komnas HAM menolak menganggap bencana ini sebagai suatu bentuk pelanggaran. Padahal berdasarkan kajian yang Bosman lakukan, setidaknya terdapat dua pasal yang bisa yang mengindikasikan terjadi pelanggaran. ”Pasal pertama adalah telah terjadi perluasan dampak dari lumpur Sidoarjo,” katanya. Sedang yang kedua menurut Bosama, para korban harus berpindah secara terpaksa dari tempat tinggal mereka.

Terjadinya banyak pelanggaran HAM pada kasus lumpur Sidoarjo juga diamini oleh Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Sidoarjo. Menurutnya, masyarakat Porong telah ditindas dengan adanya bencana lumpur ini. Ia mengatakan, sudah tidak terhitung lagi kerugian yang dialami oleh korban lumpur dalam waktu tujuh tahun belakangan. Apalagi proses ganti rugi yang dijanjikan oleh PT Lapindio Brantas belum tuntas sepenuhnya. ”Dan lagi, pemerintah seperti tidak peduli kepada kami. Kalau sudah begini, kepada siapa lagi kami harus percaya?” gugatnya.

Dampak lain yang muncul dari bencana ini adalah berkurangnya akses korban lumpur terhadap pendidikan dan kesehatan. Harwati mencatat, di tahun 2013 ini ada banyak anak korban lumpur yang kesulitan membayar iuran sekolah. Bahkan ada satu orang anak yang terpaksa menunggak iuran sekolah sebesar Rp 3,5 juta. ”Kami untuk makan saja susah, apa lagi buat bayar ini itu. Siapa yang mau membayarkan? Apa bapak ibu, mau?” protes Harwati.

Wanita berambut pendek ini juga menyampaikan kesulitan korban lumpur mendapatkan tempat tinggal. Ia mengatakan, pemerintah harusnya melakukan asistensi terhadap proses perpindahan warga dari tempat tinggalnya. Kata Harwati, tidak mudah bagi masyarakat Porong untuk kembali beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal baru mereka.

Belum lagi ditambah dengan melonjaknya harga jual tanah dan bangunan disekitar lokasi lumpur. ”Dulu harga kontrak rumah itu cukup Rp 700 ribu, kami sudah dapat rumah yang layak. Sekarang dengan harga Rp 2,5 juta, kami hanya bisa dapat rumah tidak layak huni,” ungkapnya sedih.

ITS sebagai penyelenggara seminar sebenarnya telah mendorong pemerintah untuk segera menuntaskan masalah kemanusiaan di Sidoarjo. Sejak tahun 2006, ITS telah aktif meneliti berbagai solusi pencegahan meluasnya dampak lumpur Sidoarjo.

Dr Amien Widodo, Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim ITS, menyebutkan, dalam waktu dekat ia bersama timnya akan meneliti besaran lubang semburan lumpur. Apabila memungkinkan, ia akan memberikan rekomendasi mekanisme penutupan lumpur tersebut kepada pihak terkait. ”Akan tetapi, tetap yang harus diselesaikan pertama adalah dampak kemanusiaan yang terjadi pada para korban,” kata Amien. (ram/fz)

Berita Terkait