Pada dasarnya bambu itu sangatlah mewah, cantik, juga cepat tumbuh," ungkap pria asal Yogyakarta tersebut. Arsitek di berbagai belahan dunia tengah berlomba-lomba untuk menunjukkan eksistensi bambu. Sayangnya, Indonesia sendiri justru kalah start. Padahal, pemanfaatan bambu dapat menjadi alternatif untuk menyiasati hutan tropis yang semakin habis.
Selama ini bambu dianggap sebagai bahan yang digunakan oleh ‘orang kecil’. "Padahal bambu adalah aset Indonesia yang jika hanya terus menerus diekspor secara mentah akan membuat kita semakin tertinggal," lanjutnya. Bambu rupanya tak hanya sekadar aset alam, namun juga bisa melestarikan kembali arsitektur tradisional.
Eko mencontohkan karyanya yang bernama Saba-Biak Community Center. Bangunan yang terletak di Desa Saba, Kabupaten Biak tersebut dibuat usai terjadinya bencana tsunami Papua tahun 1996. Akibat dari bencana tersebut, masyarakat Saba kehilangan tempat tinggal mereka. Padahal arsitektur mereka unik, menyerupai punggung kura-kura. Bahkan, oleh pihak luar negeri mereka dipindah ke tempat yang tidak memungkinakan untuk membangun kembali arsitektur khas mereka.
Eko tertantang untuk mengembalikan budaya lokal masyarakat tersebut dengan membuat bangunan berbahan dasar bambu. Ia juga mencoba menggunakan batang kayu kelapa. Eko dan rekan-rekannya pun berhasil membuat gedung pusat pembelajaran seperti arsitektur punggung kura-kura sebelumnya. Hebatnya lagi, arsitektur yang mereka hasilkan tahan goncangan. "Setelah diresmikan, masyarakat di sana sangat terharu karena identitas kulturalnya muncul kembali," kenang Eko.
Memunculkan Kembali Arsitektur Nusantara
Kegiatan bertema Small for All ini memang ditujukan untuk fokus terhadap pengembangan potensi arsitektur lokal. "Kami berusaha menghadirkan arsitek nasional yang sudah akrab dengan bidang pengabdian masyarakat dengan karyanya yang luar biasa yang memanfaatkan bambu sebagai raw material-nya," tutur Muhammad Idan Syauqi, penanggung jawab kegiatan.
Adanya acara tersebut diharapkan dapat menginisiasi kembalinya arsitektur nusantara. Hingga saat ini, tidak ada sekolah arsitektur di Indonesia yang memelajari konstruksi dari bambu. "Sebagai pemuda dan calon arsitek, kalian harus berani ambil bagian dan munculkan lagi eksistensi arsitektur nusantara," pesan Prof Dr Ir Josef Prijotomo MArch, guru besar Arsitektur.
Memunculkan kembali arsitektur nusantara harus turut didukung oleh perubahan cara pandang arsitek. Menurut Eko, seorang arsitek tidak boleh membedakan skala besar atau kecilnya proyek yang ditangani. Semuanya harus dikerjakan secara serius. Yang lebih penting lagi, hubungan antar arsitek dengan klien harus disetarakan. Sehingga dapat memberi manfaat untuk kedua pihak, bukan saling memanfaatkan. (oly/lis)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung