ITS News

Minggu, 21 Desember 2025
26 Maret 2013, 11:03

Mengurai Problematika UKT

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

UKT sendiri telah menjadi kesepakatan bersama oleh seluruh rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya dasar hukum dari Dirjen Dikti yang semakin menguatkan legalitasnya. Akibatnya, UKT hampir bisa dipastikan akan diterapkan pada tahun ajaran 2013/2014 untuk mahasiswa baru 2013.

Dengan adanya UKT ini, maka biaya total pengeluaran kuliah dari mahasiswa akan lebih murah. Namun yang perlu diketahui, dengan adanya sistem baru ini berakibat pada keuangan ITS turun sekitar Rp 35 miliar sampai Rp 40 miliar dibandingkan dengan sistem Surat Permintaan Pembayaran (SPP) lama.

Dalam penjelasanya, Yoga Widhia Pradhana, Menteri Kementerian Sosial dan Politik (Kemensospol) BEM ITS, UKT ini memang manis di mata mahasiswa, namun belum tentu bagi pihak institut.”Sebaiknya kita juga melihat dari sudut pandang pihak rektorat,” tuturnya.

Menurutnya, dengan penerapan sistem ini dipastikan ITS akan mengalami defisit pembiayaan. Sehingga, ujung-ujungnya ITS harus mengandalkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang dikucurkan pemerintah. Padahal pencairan BOPTN itu sendiri juga tergantung sistem birokrasi di pemerintah pusat. Tak hanya itu, logika UKT ini juga memaksa ITS untuk mencari dana secara mandiri melalui kerja sama.

Di titik ini masalah mulai timbul, bagaimana jika BOPTN telat cair padahal ITS membutuhkan biaya awal untuk operasional kampus. ”Dari segi rekayasa biaya, hanya ada dua jalan yang dapat dilakukan yaitu improve profit dan reduce profit,” tutur Yoga.

Yang paling ditakutkan adalah adanya pemotongan anggaran pada pos-pos tertentu khusususnya bagian kemahasiswaan untuk menutupi defisit anggaran. ”Dapat dipastikan banyak kegiatan organisasi mahasiswa (ormawa) yang akan terganggu,” ucap mahasiswa Teknik Elektro ini.

Di samping itu, teknis dari penetapan klasifikasi tarif UKT untuk mahasiswa baru yang mampu dan kurang mampu dipastikan menimbulkan masalah yang rumit. Jumlah mahasiswa baru yang ribuan juga akan menjadi masalah tersendiri saat melakukan survei verifikasi data.

Sementara itu, penggolongan 20 persen mahasiswa akan dikenai SPP nol rupiah dan mahasiswa lain dikenai biaya sampai SPP maksimum akan menimbulkan masalah tersendiri. ”Penggolongan ini akan jadi masalah manakala mahasiswa baru yang benar-benar kurang mampu jumlahnya lebih dari 20 persen. Apakah mereka juga harus membayar SPP sama dengan mahasiswa kelas menengah ke atas atau tidak,” pungkas Yoga. (ady/esy)

Berita Terkait