Kartika mengungkapkan, saat ini TOEFL masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian mahasiswa. Kasus gagal yudisium karena TOEFL juga masih kerap terjadi. Akibatnya, masa studi mahasiswa semakin panjang.

ITS sendiri memiliki standar TOEFL 477. Angka ini menjadi berat jika tidak didukung dengan persiapan yang matang. Apalagi jika terjadi pada mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan memadai dalam hal berbahasa. ”Terkadang ada mahasiswa yang tidak bakat. Kasus seperti ini menjadi susah untuk diselesaikan,” ungkap Kartika.

Ia menegaskan bahwa sebagai fasilitator, UPT Bahasa hanya mengijinkan mahasiswa tes TOELF di ITS sebanyak tiga kali. Bagi mahasiswa yang tidak kunjung mencapai target, maka pihak UPT mewacanakan agar mahasiswa untuk mengikuti Intensive Course.

Lebih lanjut, Kartika menguraikan bahwa Intensive Course ini merupakan program baru UPT Bahasa yang dikhususkan bagi mahasiswa yang bermasalah. Nantinya, program ini akan memberikan latihan khusus kepada mahasiswa. Materinya tidak jauh-jauh dari kebutuhan pascakampus seperti latihan wawancara dan berbicara.

Kartika berharap usai mengikuti Intensive Course, para peserta tidak lagi mengikuti tes TOEFL. Peserta akan mempunyai nilai TOEFL asli dan ditambahkan sertifikikat lulus Intensive Course. ”Sehingga tidak ada lagi cerita nilai TOEFL yang digenapkan menjadi 477,” tuturnya.

Intensive Course ini tdak imain-main. Nantinya, program ini akan dipatok cukup mahal. Harapannya, agar mahasiswa termotivasi untuk tidak masuk ke program ini. Pun dengan jadwalnya yang terbilang sangat ketat. Jika tidak memenuhi serangkaian kewajiban dari program ini, mahasiswa dimungkinkan untuk tidak lulus.

Meski merupakan ide yang bagus, namun tidak semua jurusan sepakat dengan ide ini. Hal ini mengingat bahwa batas minimal TOEFL di ITS adalah 477. ”Ini merupakan tantangan bagi saya untuk meyakinkan Intensive Course adalah solusi yang cukup efektif,” pungkasnya. (ran/fz)