ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
28 Maret 2012, 19:03

Jadi Doktor, Boni Ingin Punya Laboratorium

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jauh hari sebelum pria yang kerap disapa Boni ini menjadi doktor, ia berpikir bahwa menjadi doktor adalah tingkatan yang tertinggi dari seorang peneliti. Namun, malam hari sebelum sidang doktor dilaksanakan, ia tersadar filosofinya tentang doktor selama ini salah. Ia sadar bahwa dengan menjadi doktor, ia seolah menjadi bayi peneliti yang baru saja lahir. ”Berarti bayi itu harus melakukan banyak penelitian lagi,” tandasnya.

Boni telah mendalami tentang photovoltaic, yang lebih dikenal dengan atap sel surya sejak sembilan tahun silam. Sel surya memanfaatkan matahari sebagai pembangkit listriknya. Jika digunakan menjadi atap, maka seluruh listrik di dalam rumah tersebut menggunakan listrik dari energi matahari.

Setelah dihitung dan dibandingkan harganya, menggunakan atap sel surya lebih murah daripada suplai listrik dari PLN. Atap tersebut pun dapat digunakan hingga puluhan tahun lamanya. ”Hanya saja, berat di awal untuk membeli atapnya,” ujarnya.

Dalam disertasinya, pria asal Malang ini mengangkat tentang perpaduan antara atap sel surya dan isolasi konveksi. Dengan perpaduan tersebut, ruangan dalam rumah menjadi nyaman, dingin, serta pembangkit listriknya lebih tinggi.

Namun, atap sel surya cukup mahal harganya. Setiap watt-nya dipatok harga sebesar tiga dolar Amerika. Itulah yang membuat atap sel surya tidak populer di Indonesia. Oleh karena itu, Boni menggagas sebuah sistem kredit kepemilikan atap sel surya. Menurutnya, sistem kreditnya sama seperti orang membeli sebuah rumah. ”Dengan atap sel surya, pemilik rumah tidak perlu listrik dari PLN,” tuturnya.

Indonesia dinilai cukup berpotensi untuk menerapkan atap sel surya. Intensitas munculnya matahari di Indonesia lebih besar dan lama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Tidak hanya itu, iklim tropis yang membuat banyak angin berhembus di Indonesia pun mendukung. Boni menegaskan lagi dengan fakta bahwa negara yang sebagian tahunnya tertutup salju pun telah menerapkan atap sel surya.

Disisi lain, Indonesia merupakan negara kepulauan. Hal tersebut menyebabkan setiap pulau harus memiliki pembangkit listrik masing-masing. Di Pulau Jawa misalnya, menggunakan diesel sebagai pembangkit listriknya. Sedangkan diesel juga membutuhkan solar untuk berkerja. ”Ini sekaligus dapat menjawab demo Bahan Bakar Minyak (BBM) yang marak akhir-akhir ini,” tukasnya sambil tersenyum.

Ingin Membuat Laboratorium
Menurut Boni, dalam melakukan publikasi karya ilmiah, seorang doktor harus memiliki laboratoriumnya sendiri. Kemudian, menghasilkan banyak riset dan membuat proposal operasional yang dikirim ke Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) RI maupun industri. Oleh karena itu, selepas mendapatkan gelar doktornya, ia bercita-cita  untuk membuat sebuah laboratorium arsitektur surya dan mengembangkan banyak riset.

Boni telah melakukan delapan kali seminar internasional untuk mempublikasikan karya ilmiahnya. Tidak puas hanya sebatas seminar, ia ingin memasyarakatkan atap sel surya di Indonesia. Terutama kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

Untuk itulah, desain atap sel surya itu ia buat sangat sederhana, rancangannya sama dengan atap konvensional. Yang berbeda hanya rangka yang digunakan untuk memasangnya. ”Sehingga tukang biasa di desa pun dapat memasangnya,” tuturnya.

Menurutnya, listrik bersifat liquid, sama seperti uang. Jika uang dapat digunakan untuk membeli barang apapun, listrik dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam aktivitas. Misalnya, dengan listrik, kulkas dapat mendinginkan makanan, dan lampu dapat menerangi kegelapan. Tidak hanya itu, listrik adalah salah satu faktor terpenting dalam berjalannya sebuah negara. ”Sebuah negara akan lumpuh jika listriknya dipadamkan hanya dalam empat hari,” tegasnya.

Dengan disertasinya, Boni turut berharap listrik di Indonesia murah harganya. Dengan listrik murah, maka segalanya akan ikut murah. ”Sebab segala proses produksi membutuhkan listrik,” tutupnya. (fin/esy)

Berita Terkait