ITS News

Kamis, 18 Desember 2025
07 Februari 2012, 13:02

Siap Berkarya, dari Film Dokumenter hingga Layar Lebar

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Film Catatan Akhir Sekolah (CAS) menjadi film yang berkesan bagi Angger saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketertarikan tersebut membuatnya tergelitik untuk mengemas film dokumenternya sendiri. ”Film CAS itu anak muda banget, kemasannya juga beda dari film-film lain,” ujarnya.

Ia pun mengaku, alur cerita film pertamanya itu sengaja dibuat sama dengan CAS. ”Tapi pengambilan gambarnya asli. Waktu menyontek ya menyontek beneran,” papar mahasiswa angkatan 2009 ini.

Bermodal kamera handphone, satu demi satu adegan dikumpulkan kemudian dirangkai menjadi sebuah film dokumenter. Film ini pun akhirnya ditayangkan saat acara perpisahan sekolahnya. ”Awalnya nggak aku jual, tapi ternyata banyak yang mau. Akhirnya aku jual Rp 15 ribu per kepingnya,” cerita Angger.

Tak puas dengan film dokumenter, pria kelahiran Surabaya ini tertarik pula membuat film independen. Lelaki yang bercita-cita menjadi film maker ini lantas mengikuti lomba film independen bertajuk LA Lights Indie Movie pada 2010 lalu.

Angger pun mengaku lebih tertarik dengan film independen dibanding film layar lebar. ”Film Indie itu durasinya pendek, tapi lebih banyak mikirnya,” terangnya. Ia menambahkan, alur film independen lebih susah ditebak. Sebab, ending-nya acapkali belum tentu seperti yang terlintas dalam benak penonton.

Lolos sepuluh besar finalis LA Lights Indie Movie, proyek film independennya pun didanai hingga Rp 20 juta. Bersama finalis lainnya dan para pembuat film profesional, Angger pun berkesempatan memproduksi film bertajuk Cinta Putih dan Barbie di Jakarta. Ia lantas memilih masuk ke divisi yang berhubungan dengan perkuliahannya di Despro. ”Waktu itu aku pilih divisi art,” paparnya.

Di divisi art, alumni SMA IPIEMS ini menangani segala properti shooting yang berhubungan dengan grafis. ”Semua yang ada di scene, majalah, koran, foto, uang, itu semuanya dikerjakan tim art,” ungkap Angger. Ia menjelaskan, majalah, uang, dan sebagainya tidaklah asli, namun dibuat semirip mungkin dengan aslinya.

Keikutsertaan Angger di LA Lights Indie Movie ternyata menuntunnya bertemu dengan Frans Faat, seorang art director ternama. ”Aku sempat ditawari ikut bikin iklan, tapi aku tolak. Soalnya waktu itu sedang Ujian Akhir Semester (UAS),” tuturnya.

Namun, istilah kesempatan tidak datang dua kali tak mempan bagi Angger. ”Menurutku, kesempatan akan selalu ada selama Tuhan memberi,” ujarnya. Benar saja, tak lama kemudian, Frans kembali memberi kesempatan Angger untuk membantu pembuatan film Batas di Kalimantan.

”Tapi lagi-lagi aku tolak, waktu itu aku masih ada perkuliahan. Lagipula, lokasinya jauh,” cerita mahasiswa yang juga seorang asisten dosen ini. Penolakan-penolakan Angger nyatanya tidak membuat Frans kehilangan kepercayaan. Mahasiswa kelahiran 27 Desember 1990 tersebut pun kembali mendapat tawaran.

Kali ini, Frans mengajak Angger bergabung di produksi film Semesta Mendukung (Mestakung). Tak mau buang kesempatan lagi, Angger segera mengiyakan tawaran menarik tersebut. ”Soalnya lokasinya dekat, di Sumenep, Madura,” tambahnya.

Meski harus bolak-balik Surabaya-Madura, Angger tak patah semangat. ”Kamis sampai Minggu aku di Madura, lalu balik ke Surabaya lagi untuk kuliah,” jelasnya.

Sebenarnya, proses produksi film Mestakung sendiri berlokasi di Madura, Jakarta, dan Singapura. Namun, karena masih dalam masa perkuliahan, Angger hanya ikut saat produksi di Madura. ”Jadi aku cuma ikut satu bulan saja,” akunya.

Meski demikian, Angger mengaku mendapat banyak ilmu dari keikutsertaannya dalam produksi film. ”Aku jadi bisa kerja bareng sama orang-orang profesional. Bisa tahu teknik-teknik mengakali properti film dan setting tempatnya juga,” tutur anak kedua dari dua bersaudara tersebut.

Bertemu banyak artis ibukota seperti, Yuni Shara, Lukman Sardi, Revalina S Temat, dan sebagainya pun diakui Angger merupakan sebuah bonus. Angger yang memang mengagumi Lukman tak menyia-nyiakan kesempatan, ia mengaku senang dapat berfoto dan mengobrol ringan dengan idolanya.

Kualitas Film Indonesia
Sebagai penggemar film, Angger pun menyayangkan keberadaan film berkualitas buatan Indonesia yang masih tergolong sedikit. ”Film di Indonesia masih didominasi film-film horor sensual,” ujarnya. Menurutnya, kondisi tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menggemari film berjenis horor sensual.

”Sebenarnya, para film maker itu bisa membuat film-film yang fantastis,” tutur penggarap film yang pernah masuk dua kategori dalam lomba yang digelar sinematografi Universitas Airlangga (Unair). Namun, dirasa Angger masih banyak produser film Indonesia yang belum berani memberikan support. ”Kalaupun ada, jarang ada yang maksimal mengeluarkan dananya,” tambahnya.

Pembuat film berjudul Masih Ada Senyuman ini pun berpendapat, keberadaan film maker di Indonesia sebenarnya sudah banyak, terbukti dengan banyaknya film independen di Indonesia. ”Meskipun hanya berdurasi 10-15 menit, tapi kualitas film indie nggak kalah dengan layar lebar,” ungkap Angger. Hanya saja, kepercayaan produser pada mereka masih sangat kurang.

Setelah menjalani proses produksi film layar lebar, Angger semakin terpicu untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang film maker. ”Kalau ada kesempatan buat film lagi, inginnya bisa ikut full,” paparnya.

Angger berharap, nantinya ia dapat memicu para film maker lainnya untuk tidak bosan membuat film yang berkualitas. ”Asal ada kemauan dan ketekunan, pasti ada jalan,” cetus Angger.(fen/esy)

Berita Terkait