Nur Sita Hamzati, Amar Muhammad, dan Wildan Cahyo Wuriyanto menilai, pendidikan merupakan faktor utama dalam pembangunan bangsa. Karenanya, mereka pun menjatuhkan pilihan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) dalam bidang pendidikan.
Ketiga mahasiswa jurusan Biologi ITS ini mengusung proposal Rumah Pohon (Rupo-Sepua), sebagai Sarana Pengenalan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Perpustakaan Alam bagi Anak Pedalaman di Kampung Klamit Distrik Sawit Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Sesuai proposal tersebut, mereka mendirika perpustakaan alam dengan memanfaatkan pohon.
Sita menjelaskan, rupo akan dibangun menggantung, seperti panggung, dengan memanfaatkan pohon besar yang masih hidup. Ruangan di dalam ruko akan ditata sebagai perpustakaan lengkap dengan koleksi buku dan tempat duduk yang nyaman.
Mereka juga akan menggelar pendidikan tentang lingkungan hidup, serta pengamatan flora dan fauna.
Awalnya, ujar Sita, kegiatan ini akan dihelat selama dua bulan. Tetapi setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk urusan akademik, program ini mereka mampatkan dalam satu bulan saja.
"Ini artinya, pada dua pekan pertama kami akan menjalankan program tanpa rupo terlebih dahulu karena pembangunan rupo perlu waktu sekira dua pekan. Sambil program berjalan, kami membangun rupo," kata Sita seperti dikutip dari ITS Online, Senin (30/1/2012).
Papua dipilih Sita dkk karena alamnya yang masih hijau dan potensi Papua menjadi paru-paru dunia. Mereka berharap, usahanya dapat meningkatkan kesadaran penduduk Papua bahwa menjaga kelestarian dapat dimulai dari diri sendiri.
Langkah tiga sekawan ini mewujudkan cita-cita itu tidaklah mulus. Mereka terbentur masalah dana. Apalagi, pencairan dana hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun membutuhkan waktu.
Ketiganya lantas memutar otak. Mereka kemudian menggalang dana, termasuk dengan SMS maupun Facebook. Selain donatur, Badan Akademik dan Administrasi Kemahasiswaan (BAAK), serta Jurusan Biologi ITS mendukung ketiganya dengan memberikan pinjaman dana. Tidak hanya itu, mereka pun berniat mencari sponsor.
Sita bercerita, kendala ini pulalah yang membuat mereka mengalihkan program ke MI Malauwele, Papua. Mahasiswa angkatan 2009 ini beralasan, jika tetap menggelar program ini di SD Inpres, dana dan waktu yang dibutuhkan lebih banyak karena lokasinya berada di pedalaman.
"MI Malauwele berada di pinggiran kota, sehingga aksesnya lebih mudah," ujarnya.
Di tengah gempuran berbagai kesulitan, tim kecil ini akhirnya berangkat ke Bumi Cendrawasih dengan menumpang kapal laut 24 Januari lalu. Ketiganya ingin menunjukkan, perjuangan mewujudkan cita-cita tetap harus dilakukan meski terlihat sulit.
Tim ini juga menerima donasi dari siapa pun yang ingin berpartisipasi dalam program tersebut. Donasi dapat berupa alat tulis, buku, dan barang apa pun yang mendukung. (rfa)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung
Kampus ITS, ITS News — Guna meneguhkan komitmen sebagai World Class University (WCU), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyiapkan