Sesuai tema yang diangkat, dalam seminar ini menghadirkan lebih dari 20 keynote speaker yang merupakan alumni DAAD untuk membahas isu energi dalam skala global baik di Indonesia maupun di Jerman. Yang hadir pun tak hanya dari kalangan peneliti, melainkan juga praktisi industri.
Harus diakui potensi Indonesia dalam renewable energy pun tak bisa dipandang sebelah mata. Dari segi potensinya, seperti geothermal, biomass, mikrohydro dan solarcell pun bangsa Indonesia bisa dikatakan unggul. Hanya saja optimalisasi dan implementasi dari potensi tersebut masih perlu dikembangkan.
Demikian dengan Jerman, kekayaan potensi yang dimiliki sedemikian disiasati untuk bisa diterapkan dan diwujudkan dalam menjawab kebutuhan energi dalam negeri. ”Renewable energy sebenarnya hanya sebuah ranah politik dari sebuah Negara,” kata Prof Dr Uwe Rehling.
Profesor European Overseas Campus (EOC) ini menyatakan, renewable energy digunakan hanya untuk energi tambahan serta upaya penghematan sumber eneri utama. Dalam seminarnya, Rehling sempat bercerita bagaimana sebuah daerah kepulauan kecil yang dulunya tidak memiliki potensi dan tidak berkembang, bisa bertransformasi sedemikian rupa hingga kini menjadi daerah yang maju pesat.
”Tidak ada apa-apa, yang ada hanya potensi untuk workhard,” ucapnya. Namun, tahun 1950 penduduk disuatu pulau di Jerman tersebut menemukan bahwa ada satu potensi energi di dalam tanah. Akhirnya satu-satunya jalan yang mereka harus lakukan adalah menggali. ”Dan mereka pun menggali demi mendapatkan listrik,” tegasnya.
Selain itu, Rehling mengatakan, potensi Indonesia yang kaya akan pulau sangat besar potensinya untuk menghasilkan renewable energy, khususnya angin dan solarcell karena Indonesia adalah negara tropis.
”Tapi untuk renewable energy, tergantung kebijakan masing-masing negara. Dan sebaiknya ada peraturan khusus yang mengikat adanya pengembangan renewable enegy ini,” tandas Rehling yang cukup lama hidup di Bali, Indonesia ini. Rehling melanjutkan, dengan adanya peraturan dari pemerintah, maka semua pihak akan tergerak untuk mengembangkkan renewable energy tersebut.
Menggapi hal tersebut, Anang Yahmadi yang juga Deputi PT PLN Persero, sebagai instansi pemerintah yang menangani masalah energi nasional menjawab, di Indoensia peraturan mengembangkan renewable energy pun sudah ada dan mulai diberlakukan. ”Sistemnya 50:50 antara PLN dan pihak swasta,”kata Anang.
Selama ini, untuk renewable energy seperti pun geothermal masih baru lima titik yang kini sedang digarap. Anang sendiri mengaku pengembangan renewable energy di Indonesia masih tergolong lambat. Lebih lanjut Anang pun menjelaskan karena pengembangan renewable energy demi kemandirian energi memakan waktu yang tidak sebentar, maka dari itu penelitian dan pengembangannya pun dilakukan bersamaan.
Seminar International yang digelar oleh para alumni DAAD dari beberapa negara ini memang bertujuan untuk menunjukan peran nyata kalangan akademisi dalam usahanya menjawab isu energy. ”ITS menjadi tuan rumah karena kami, alumni DAAD ITS, ingin menunjukkan bahwa ITS menjadi salah satu perguruan tinggi yang konsen pada renewable energy,” kata ketua panitia, Prof Dr rer nat Agus Rubiyanto MEng Sc.
Profesor jurusan Fisika FMIPA ITS ini juga berharap kelak ITS bisa leading dalam pengembangan renewable energy baik di Indonesia maupun dunia. (fz/rik)
Nganjuk, ITS News — Tim Pengabdian kepada Masyarakat (Abmas) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil membangun dan mengimplementasikan Kumbung
Kampus ITS, ITS News – Transparansi informasi merupakan hal yang krusial dalam keberlanjutan sebuah institusi. Berangkat dari inisiasi tersebut,
Surabaya, ITS News – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memperkuat perannya dalam mendorong pendidikan berkelanjutan melalui audiensi bersama Dinas
Kampus ITS, ITS News — Apresiasi mahasiswa yang aktif berorganisasi, Lembaga Pengelola Dana Abadi (LPDA) Institut Teknologi Sepuluh