Hampir 49 tahun sudah, pemilik nama lengkap Ir Petrus Eko Panunggal PhD ini mengabdi pada alamamater ITS. Kiprahnya sebagai dosen di Jurusan Teknik Perkapalan dalam kurun waktu yang lama tersebut membuatnya begitu disegani dan dihormati. Walau begitu ia tetap dikenal sebagai sosok yang rendah hati dengan senyumnya yang ramah, dan penampilannya yang sederhana.
Perjalanan panjang Eko Panunggal bersama Jurusan Teknik Perkapalan tentu menyimpan banyak cerita dan kenangan yang menarik. Eko Panunggal dapat dikatakan sebagai salah satu saksi hidup perjalanan panjang Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), khusunya Jurusan Teknik Perkapalan.
Awal Perjalanan
Pria kelahiran Blitar, 28 Oktober 1944 ini masuk ke ITS sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Perkapalan (JTP) pada tahun 1962. Saat itu kampus ITS masih berada di Undaan Kulon. Eko mengaku bahwa sejak kecil dirinya sudah sangat tertarik dengan bidang teknik. ”’Sejak kecil saya sudah sangat tertarik dengan mesin dan teknik,” ujar Eko.
Semasa Taman Kanak-kanak (TK), Eko sekali diajak orang tuanya ke stasiun Kereta Api. Saat itu ia mengaku sangat terkesima melihat lokomotif kereta uap yang begitu rumit dan detail. ”Saat itu saya benar-benar kagum melihat kereta, apalagi ketika bergerak dan dapat membuat tanah ikut bergetar,” jelasnya.
Awal ketertarikannya dengan teknik kemudian berlanjut setelah ia mengamati hal-hal lain yang berada disekitarnya. Mulai dari mesin jahit ibunya, sepeda, hingga listrik di rumahnya. ”Maka dari itu, sejak kecil saya sudah sering membetulkan mesin jahit, sepeda, bahkan listrik di rumah,” akunya.
Namun bidang teknik yang selama ini ia pelajari secara otodidak dirasa tidak cukup menarik lagi untuk ia pelajari di perguruan tinggi. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memilih salah satu program studi yang lebih menantang. ”Saya memilih Teknik Perkapalan karena lebih menantang daripada biasanya,”’ jelas Eko.
Studinya di JTP adalah sekaligus awal karirnya sebagai dosen. Tiga tahun sesudah ia diterima di ITS, tepatnya tahun 1965 ia berhasil meraih gelar sarjana muda dan diminta menjadi asisten dosen. Kala itu, asisten dosen punya wewenang yang cukup besar layaknya dosen. Studi sarjananya sendiri ia selesaikan hingga tahun 1976, saat itu gedung jurusan sudah berpindah di Simpang Dukuh.
Mahasiswa Sekaligus Pegawai Negeri
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1965 beliau diminta menjadi asisten dosen. Setelahnya beliau pun langsung diangkat sebagai pegawai negeri. Dari tahun 1965 hingga tahun 1976 ia bahkan sempat naik golongan sebanyak dua kali. ”Jadi waktu itu saya mahasiswa sekaligus pegawai negeri,” paparnya.
Eko Panunggal mengaku ia sangat gemar membaca buku. Saat dirinya menjadi asisten dosen, ia mengungkapkan bahwa bisa dibilang dia adalah satu-satunya orang di kampus yang paling sering membaca buku. ”Dulu jurusan hanya punya satu rak buku, dan hampir semuanya saya baca,” akunya.
Selain gemar membaca, salah satu alasan kenapa hanya dirinya yang mampu membaca hampir seluruh buku itu adalah karena kemampuan bahasa yang ia miliki. ”Hampir semua buku itu bahasanya Inggris atau Jerman, karena saya bisa keduanya jadi saya bisa membaca hampir semuanya,” kata Eko.
Pada awal 70-an, Eko pun menikah dengan Lily Afiati. Pernikahan mereka itupun dianugrahi tiga orang putera. ”Jadi saya menikahnya ya waktu saya juga masih mahasiswa,” ucapnya dengan santai.
Raih Doktor Tanpa S2
Setelah menempuh studi sarjana di ITS hingga tahun 1976, beliau berkiprah sebagai dosen di JTP ITS. Pada masa ia menjadi dosen, JTP kala itu mendapat berbagai bantuan dari Jerman. Mulai dari alat bantu studi, komputer digital, hingga beasiswa studi untuk dosen. ”Saat itu JTP adalah jurusan pertama di ITS yang punya komputer digital, dan itu pemberian Jerman,” Ujar Eko.
Dari komputer digital itu, Eko berkali-kali membuat suatu program yang dapat dipergunakan untuk memudahkan perhitungan. Salah satunya adalah program untuk menghitung stabilitas. ”Kalau manual bisa sampai dua minggu, tapi dengan program ini cukup dua hari,” jelas Eko.
Kemudian Dirjen Perguruan Tinggi Negeri (Dikti) turut pula memberi beasiswa untuk pendidik dan pendidikan jurusan langka. ”Saat itu Teknik Perkapalan juga termasuk jurusan langka, dan Dikti menseleksi dosen Perkapalan untuk dikuliahkan ke luar negeri,” terangnya.
Berdasarkan seleksi, hanya empat dosen saja yang berhasil terpilih dan didalamnya termasuk Eko. Ia mendapat beasiswa di University of Newcastle upon Tyne, Inggris. Tak tangung-tangung, Eko yang tidak mengenyam pendidikan S2, langsung dipercaya untuk dapat mengambil program Doktor. ”Saat itu mereka bilang, pengetahuan saya sudah cukup untuk langsung mengambil Doktor,” jelasnya.
Pendidikan itu ia lalui dari tahun 1988 hingga 1992. Selama di inggris, Eko merasakan sekali perbedaan antara studi di Indonesia dan di Inggris. ”Di sana, jurnal-jurnal dapat diakses dengan mudah, dan fasilitas sangat memadahi, maka ketika ketika kembali di Indonesia saya sempat sedikit shock,” tutur Eko.
Kiprah dan Dedikasi
Selama berkiprah di JTP, Eko sudah banyak sekali mendesain kapal hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Kapal pertama yang ia desain dan ia awasi sendiri hingga tahap pembangunannya adalah kapan tanker. ”Kapal itu dibuat sekitar akhir 70-an,” ungkapnya.
Tak hanya itu, penemuan-penemuan breakthrough juga kerap ia publikasikan. Salah satunya adalah metode optimalisasi dalam perancangan kapal. ”Ini telah diaplikasikan pada perancangan kapal patroli kerja sama dengan TNI AL,” jelasnya.
Setelah selama berpuluh-puluh tahun berkiprah di JTP tentu Eko dapat merasakan perubahan yang terjadi di JTP saat ini dibandingkan beberapa waktu sialam. Perubahan yang paling mencolok itu meliputi fasilitas hingga tenaga pengajar.
Di akhir wawancara, Eko berpesan bahwa jika FTK ITS khususnya JTP mau untuk tetap eksis di bidang keilmuan ini. Sehingga sangat perlu FTK dengan ketiga jurusannya terus memperbaharui pendidikan dengan perkembangan-perkembangan terbaru. Dirinya pun kini sering sekali mengakses jurnal-jurnal research dari Massachusets Institute of Technology (MIT) dan beberapa perguruan tinggi ternama lain untuk bahan pengajarnnya.
Kiprah sekaligus dedikasinya terhadap ITS tentu patut diacungi jempol. Hingga saat ini pun, setelah beberapa tahun ia purna tugas, dedikasinya tidak pernah luntur. Semangatnya untuk mengajar dan memajukan keilmuan teknologi kelautan menjadi inspirasi bagi banyak dosen dan seluruh civitas akademika ITS. (ald/hoe)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung
Kampus ITS, ITS News — Guna meneguhkan komitmen sebagai World Class University (WCU), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyiapkan