Dalam paparannya, Marcell dan Ridho mengisahkan bagaimana perjalanan panjang membuat sebuah album. Ridho menceritakan, bahwa dirinya jarang istirahat ketika proses rekaman, sering tidur di studio rekaman hingga seringkali jatuh sakit usai membuat album. "Nah, sampai segitunya bikin album, eh masih ada aja yang bajak," tutur Ridho gemas. Pria kelahiran Ambon ini menjelaskan, kalau akibat dari pembajakan tidak hanya berdampak pada penyanyi, tapi juga pada kru, agency, manajemen dan banyak lainnya.

Tak jauh beda dengan paparan Ridho, Marcell juga menekankan bahwa lagu legal maupun illegal sebenarnya sama, yang membedakan adalah moralnya. "Ketika orang membajak suatu karya orang lain, maka sebenarnya orang tersebut telah membunuh karya bangsa," ungkap pria kelahiran Bandung ini. Marcell juga menambahkan, bagi seorang musisi, membeli CD (compact disc) yang legal merupakan bentuk penghargaan fans kepada musisinya.

Selain Marcell dan Ridho, sebelumnya Wendi Putranto, editor majalah Rolling Stone, menjelaskan mengenai bagaimana merintis dan mengembangkan industri musik di Indonesia. "Sebenarnya, musik di tanah air bisa menjadi industri bisnis tersendiri dan mampu meraup keuntungan besar bagi berbagai elemen musik," ungkap penulis buku Rolling Stone Music Biz ini. Wendi mengakui, perkembangan musik ke depan semakin bagus, apalagi dengan kehadiran musik-musik dalam bentuk digital seperti Ring Back Tone (RBT).

"Acara seminar musik semacam ini adalah kali pertama di kampus teknik ITS ini," tutur Dr Ing Ir Bambang Soemardiono, pembina PSM ITS. Menurutnya, kegiatan seminar ini sebagai langkah menyeimbangkan antara teknologi dan seni serta membuka wawasan tentang industri musik di tanah air.

Kegiatan yang diselenggarakan mulai siang hari hingga petang ini ditutup dengan kemeriahan penampilan Endah & Rhesa. Semua hadirin hanyut dalam simfoni yang dilantunkan duo musisi Indonesia ini. (ton/nrf)