ITS News

Minggu, 14 Desember 2025
04 April 2011, 00:04

Cyber Journalism

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Wikileaks telah turut andil besar dalam konstelasi politik dunia setahun terakhir ini. Kasus terakhir adalah pemberitaan ‘Yudhoyono Abused Power’ oleh Sidney Morning Herald yang datanya diperoleh dari Wikileaks. Lagi-lagi situs yang didirikan oleh Julian Assenge ini berhasil memicu konflik setelah sebelumnya Wikileaks juga berhasil memberitakan berbagai rahasia diplomatik AS.

AS memang sedang mengalami kebocoran informasi besar-besaran. Ada sumber yang menyebutkan bahwa mengalirnya dokumen-dokumen rahasia diplomatik kepada Wikileaks itu tak lepas dari keterlibatan Bradley Manning, salah seorang ahli IT Militer AS. Namun lebih dari itu, sang pendiri yang notabene memiliki kemampuan meretas komputer tentu menjadi penggerak utama Wikileaks.

Ada hal yang lebih menarik untuk diperbincangkan dari sekedar kesialan AS tersebut, yakni tentang apa misi yang sebenarnya diusung oleh Wikileaks yang kini hadir sebagai ‘Cyber Journalism’. Apa benar misinya hanya untuk mempublikasikan berita yang selama ini tidak dapat diungkap oleh media masa konvensional?

Banyak pakar yang menilai kehadiran Wikileaks sebagai stream jurnalisme modern. Menggabungkan antara ideologi Hacktivsm yang sesungguhnya adalah kejahatan, dan niat baik untuk membeberkan kebenaran. Dua hal yang berbeda dilebur menjadi satu dan kemudian menggebrak Rezim Informasi. Bagi para penggemarnya, Julian Assenge dianggap sebagai God Messenger, dan pejuang kebenaran. Namun bagi para pengkritiknya dia dianggap tak lebih dari sekedar pencari publisitas.

Misi dan niat mulia Wikileaks sih boleh-boleh saja. Tapi menerobos masuk ke pertahanan informasi kenegaraan, dan kemudian mempublikasikannya secara brutal, bisa dikatakan kurang etis. Terlebih lagi sumber anonim yang selama ini menjadi bahan pemberitaan, tentu mengurangi nilai kebenaran dalam berita tersebut. Yang jadi masalah, media masa konvensional seakan-akan juga ikut andil dalam mendistribusikan berita yang dilansir oleh situs yang telah didirkan sejak tahun 2006 ini.

Lebih dari itu, keberanian Wikilekas dalam menyebutkan sejumlah nama, dan tidak mampu memberikan kelanjutan klarifikasi tentu dapat dkatakan sebagai pemberitaan yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, Wikileaks juga berani menyebutkan nama-nama aktivis demokrasi dalam pemberitaannya dan kini berimplikasi pada keamanan para aktivis tersebut yang tinggal di negara otoriter.

Kini kita benar-benar dihadapkan oleh tantangan di Rezim Informasi. Transparansi publik yang coba dikembangkan oleh Wikileaks, sesungguhnya juga adalah hal yang positif, tapi apakah ini tidak kebablasan? Bukankah transparansi yang diusung Wikileaks ini telah menginjak pada ranah transparansi radikal. Kini kembali kepertanyaan awal, apa sebenarnya misi yang diusung oleh Wikileaks?

Wikileaks mengakui sedikitnya telah memuat lebih dari satu juta dokumen, baik itu dokumen hasil cyber hacking, maupun dari beberapa sumber anonim. Jumlah yang fantastis dan menggambarkan kesiapan Wikileaks untuk memulai perang informasi terhadap salah satu ataupun beberapa negara. Tapi, apa benar ‘Perang Informasi’ lah yang kini tengah dirancang oleh Wikileaks?

Beberapa pemberitaan popular yang dimuat Wikileaks antara lain adalah permintaan Arab Saudi kepada AS untuk menyerang Iran, kejahatan perang oleh militer AS di Iran dan Afghanistan, terakhir adalah cablegates, berita seputar dokumen rahasia kabel diplomatik AS.

Dari berita-berita tersebut tentu sudah berhasil menimbulkan ketegangan di beberapa negara, tak hanya AS. Karena Cablegates memuat banyak dokumen rahasia yang berkaitan dengan negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan AS.

Langkah awal yang baik untuk mulai melancarkan serangan perang. Meruntuhkan ketahanan (dalam hal ini ketahanan informasi), menimbulkan teror ketegangan, terbukti dengan perintah Pentagon dan Washington untuk melarang tentara, mahasiswa dan warga-negaranya untuk membuka situs dan membicarakan Wikileaks, serta memprovokasi public distrust terhadap pemerintah. Perang informasi bukanlah isapan jempol belaka, karena bisa jadi perang dunia ketiga adalah berupa perang informasi.

Terlepas dari kepentingan dan motif, sesungguhnya kehadiran Wikileaks telah menghidupkan kembali jurnalisme investigasi. Mengingatkan media masa konvensional untuk bangun dari tidurnya, dan kembali pasang mata dan pasang telinga. Namun kepastian sumber yang terpercaya serta perlindungan narasumber setidaknya harus tetap dipertahankan.

"World War III would be a guerilla information war with no division between civilian and military participation.” – Marshall McLuhan

Aldrin Dewabrata
Mahasiswa Jurusan Teknik Sistem Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Cyber Journalism