ITS News

Kamis, 18 Desember 2025
28 Maret 2011, 09:03

ScAPE: Kera Parkour di ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tentu saja bukan seperti kera sungguhan. Melainkan kera yang keren, kera yang bisa parkour. Gerakan-gerakan mereka juga banyak yang diberi nama sesuai dengan gerakan-gerakan para primata tersebut.  Misalnya Kong, dimana pelakunya bertumpu pada kedua tangan dengan kaki sedikit terangkat.

Semua bermula dari Gabriel Mayo, seorang mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya). Pada tahun 2007, Mayo menemukan ITS sebagai  kawasan yang asyik untuk latihan parkour. Parkour mempunyai arti bergerak atau berpindah tempat dari poin A ke poin B seefisien dan secepat mungkin. Dengan mengedepankan keindahan bergerak sekaligus diimbangi oleh kemampuan dari tubuh manusia itu sendiri.

Lalu, beberapa teman berhasil digaet oleh Mayo. Salah satunya adalah Andhika Pradana yang mempunyai nama kecil Iko, mahasiswa DKV ITS angkatan 2002.  Juga Langit Wira, mahasiswa DKV yang akan diwisuda Maret 2011 ini dan Dwi Marluddiyanto, mahasiwa Desain Interior ITS angkatan 2004. Seringkali, mereka berlatih di ITS. Biasanya, di sekitar jurusan Teknik Fisika, di BAUK, bahkan di belakang kantin pusat, yang mereka sebut dengan kawasan Tembok Cina.

Jumlah anggota peminat parkour semakin bertambah, mencapai sekitar 15 orang. Sehingga Mayo, Iko, Langit dan Duest mulai merasakan kebutuhan agar dibentuknya sebuah organisasi yang lebih terstruktur. Berdirilah ScAPE. Saat ini, komunitas tersebut sudah tumbuh sekitar dua kali lipat dari jumlah anggota awalnya. Duest adalah ketuanya untuk periode ini. Dalam beberapa tahun terakhir, ScAPE juga menghadiri  Jamming Nasional (Jamnas) di berbagai kota.

Bukan atraksi….

Sekilas, parkour terlihat sebagai olahraga yang cukup menakutkan. Gerakan-gerakan yang lincah, pada ketinggian yang tidak biasa, atau melewati banyak rintangan, yang sering disebut oleh orang awam sebagai ekstrim.

 â€œSaya sih tidak menyalahkan orang-orang yang berkata parkour itu ekstrim,” sanggah Langit. Namun ia memang tidak begitu suka label semacam itu. Baginya, parkour lebih dari sekadar kegiatan fisik. “Saya sendiri, sebenarnya adalah orang yang tidak suka tantangan, suka bertahan di comfort zone saya sendiri,” aku Langit. Namun semenjak aktif melaksanakan parkour, ia sudah lebih berani.

Lain lagi bagi Duest, “Parkour adalah cara untuk mengenal diri saya sendiri,” pungkasnya. Menurutnya, hobinya ini bisa diaplikasikan sebagai sebuah bentuk adaptasi atau penyesuaian diri dengan lingkungan.

Langit dan Duest juga menyanggah bahwa hobi mereka  ini termasuk dalam kategori atraktif, alias untuk ditonton banyak orang. Bagi kebanyakan peminat parkour, kegiatan itu pure untuk kenikmatan mereka sendiri, bahkan sudah termasuk dalam gaya hidup mereka.  “Sudah seperti makan dan kegiatan lainnya,” kata Langit.

Semua gerakan-gerakan dasar harus dilaksanakan berulang-ulang. Semua anggota harus bisa mengukur kemampuannya sendiri. Tidak perlu terburu-buru melangkah ke tahap yang lebih susah, karena memang tidak ada paksaan. “Yang penting safety first,” tegas Duest.
Harapan kedua orang ini, ScAPE bisa segera menjadi salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di ITS. Tak mudah mewujudkannya, karena komunitas ini cenderung bebas, dan konsistensi anggotanya masih belum kuat. “Kami sedang berusaha mengaturnya,” Duest berjanji. (lis/az)

Berita Terkait

ITS Media Center > Profil > ScAPE: Kera Parkour di ITS