ITS News

Kamis, 18 Desember 2025
24 Februari 2011, 18:02

Cinta Pengmas, Dirikan Bank Sampah

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ninin, begitu panggilan akrabnya, lantas berhenti di depan rumah nomor 54 di jalan tersebut. Pagarnya tinggi, putih dan gerbangnya berwarna hijau gradasi kuning muda. “Inilah bank sampah,” Ninin menunjuk pada poster di dinding yang berbunyi Bank Sampah Bina Mandiri. Ninin lantas mengenalkan seorang ibu di belakang counter, Tutik Sunartiningsih.

“Namanya bank sampah, seperti bank biasa, kita punya nasabah yang menabung dari sampah yang dibawanya ke sini,” ujar gadis kelahiran 1 April 1989 ini. Jangan salah, mereka tidak lantas menjadi seperti pemulung. Para penabung adalah ibu rumah tangga yang menyetorkan sampah rumah tangganya sendiri.Sampah-sampah itu harus dipilah terlebih dahulu. Ada pemilahan tersendiri, misalnya, plastik dan kertas tak boleh asal campur. Begitu pula dengan barang-barang terbuat dari besi dan tembaga.

Sebenarnya, Bina Mandiri akan tetap menerima barang-barang yang tidak dipilah. Namun itu berarti bahwa harga barang tersebut naik, alias tabungan para nasabah menjadi lebih sedikit. “Lagipula, pemilahan sampah itu kan juga melatih masyarakat untuk terbiasa memilah sampah mereka,” ujar Tutik yang juga menjadi pembina aktif Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di tempat itu.

Selain para nasabah, ada pula orang-orang yang menyetorkan sampah tapi langsung mengambil bagiannya secara tunai. Bina Mandiri juga mempunyai klien di beberapa toko dan kantor sekitar. Umumnya, sebulan sekali, mereka akan menyetorkan sampah mereka lewat bank sampah keliling (Bangkeling) dari Bina Mandiri.

Ada pula para pekerja tetap. Sopir bangkeling, misalnya. Juga beberapa orang yang memulung di daerah sekitar. Untuk mempermudah, serta meningkatkan produktivitas, mereka dibekali dengan becak. Ini termasuk dalam kegiatan berbasis profit.Sekitar dua kali sebulan, sampah yang telah terpilah-pilah itu dikirim ke pusat penggilingan. Selanjutnya diproses menjadi bahan plastik untuk diolah kembali oleh pabrik.

Sejak berdirinya pada 11 Oktober 2010, bank sampah telah mempunyai sekitar 190 nasabah. Setiap bulannya, mereka memperoleh pendapatan sekitar Rp 7 juta. Namun biaya itu masih digunakan untuk menutupi biaya-biaya operasional. Di antaranya, biaya operasional rumah, yang didiami oleh beberapa keluarga pekerja bank sampah itu.

Awalnya ingin mandiri

Awal tahun lalu, Ninin menemukan titik jenuh berkuliah di jurusannya, Arsitektur. Di samping itu, ia juga mulai memikirkan masa depan. Ia sangat ingin mandiri, dan mempunyai sebuah bentuk usaha sendiri. Pikirannya kembali melayang pada saat-saat ia menjabat sebagai staf Departemen Pengabdian Masyarakat (Pengmas) BEM ITS pada tahun 2008. Juga saat menjadi kepala departemen serupa di Hima Sthapati Arsitektur tahun berikutnya.

Teman masa SMA-nya, Fendy, yang mempunyai pikiran serupa. Mereka saling berdiskusi, dan merumuskan ide awal untuk menggagas bank sampah. Ia juga teringat kawasan di Bratang Lapangan tersebut. Kawasan dengan taraf ekonomi, pendidikan dan moral cukup rendah. Dulu, ketika masih kecil, ia sempat tinggal di daerah tersebut. “Sekarang, teman-teman saya yang dulu sebaya banyak yang sudah mempunyai anak,” ceritanya mengenai kondisi daerah itu.

Bank sampah menjadi sebuah solusi, bagi lingkungan dan juga bagi masyarakatnya. Tak sekedar melatih para keluarga untuk lebih peduli terhadap sampah. Akan tetapi, para ibu rumah tangga pun bisa mempunyai sebuah tabungan yang terjamin dan mudah didapat.

Pertengahan tahun 2010, Ninin dan Fendy pergi ke Bantul, Yogyakarta untuk mengamati secara langsung cara kerja bank sampah pertama di Indonesia tersebut. Ini menjadi basis mereka untuk Bina Mandiri. Namun usaha yang didirikan dua orang ini memang jauh lebih kecil, serta para nasabahnya dapat menarik tabungannya sewaktu-waktu. Ninin, Ferdy serta beberapa orang lainnya akhirnya mendirikan Bina Mandiri, serta yayasan Cita Bina Insani yang menaunginya. Keduanya menjadi sumber modal utama usaha tersebut, dengan masing-masing menyumbang Rp 5

Kini, usaha bank sampah telah berjalan, dan Ninin mengaku telah mendapatkan banyak hal. Terutama mengenai keberanian dalam menghadapi orang lain. Maklum, dalam mensosialisasikan mengenai bank sampah, ia harus menemui banyak orang, mulai dari pihak pemerintahan hingga orang-orang kalangan bawah.

Mahasiswi Arsitektur ITS angkatan 2007 inipun harus rajin mengikuti arisan ibu-ibu di wilayah sasaran sosialisasinya. Lucunya, setiap habis arisan, ibu-ibu itu saling berebutan mengumpulkan sampah. Ninin hanya bisa tertawa sembari bersyukur. Rencananya, Ninin akan mengembangkan Bina Mandiri dengan program keterampilan daur ulang sampah. Ia juga tak menampik kemungkinan bergerak dalam pengolahan limbah organik.

Namun bukan berarti ia lantas meninggalkan arsitektur begitu saja. Tugas akhir (TA) menunggu semester depan. Saat ini, sambil menyiapkan TA, ia tak berhenti mencari titik minatnya. “Secara realistis, saya pun harus punya sumber pendapatan tertentu, lagipula eman bila kuliah di ITS tidak saya manfaatkan,” ujarnya mantap. (lis/az)

Berita Terkait