Tak banyak orang yang mau berkecimpung dalam profesi satu ini. Entah dirasa kurang memberikan jaminan di masa depan atau kurang dianggap sebagai pekerjaan yang profesional ketimbang jabatan guru. Proses sertifikasinya pun tak kunjung jelas arahnya. Begitulah pemaparan Edy Suprayitno SS MHum, ketua panitia acara ini.
“Proses sertifikasi untuk guru sudah jelas, sedangkan untuk pustakawan belum ada kejelasan,†ungkap pria yang menjabat sebagai koordinator marketing dan IT perpustakaan ITS. Selain itu, perlu adanya pembelajaran pada pustakawan dalam mengimbangi proses globalisasi. Perpustakaan pun diharapkan mampu beralih dari manual ke otomasi dan beralih ke digital.
Secara rutin, seminar semacam ini selalu diadakan tiap tahun sebagai bagian dies emas ITS. Setiap tahun pula, tema yang diusung berubah sesuai dengan kondisi perkembangan pustakawan. Kali ini, tema sertifikasi dipilih karena melihat keingintahuan para pustakawan terkait proses tersebut. Secara khusus, acara ini mendatangkan orang-orang yang paham dalam dunia kepustakaan.
Drs Kresnayana Yahya MSc, sebagai pembicara pertama memaparkan tentang sertifikasi sebagai tantangan menarik bagi pustakawan. Lebih dahulu ia memaparkan mengenai perubahan yang dihadapi pustakawan dalam globalisasi ini. “Sekarang free information, shared information, dan open source information sedang jadi trend,†terang dosen Statistik yang kerap dikenal sebagai pemerhati kepustakaan.
Menurut Kresnayana, dunia global sudah menuntut pemberian informasi yang cepat dan lengkap lewat digital. “Proses manual akan cepat tergantikan,†ungkap komisaris PT Petrokimia Gresik ini. Baginya, proses kilat ini harup cepat diadaptasi oleh para pustakawan. Diantaranya dengan cara memberikan lebih banyak informasi, pemutakhiran kemampuan Information and Communication Technology (ICT), dan memperbaiki kualitas pelayanan dengan digital.
Mengenai sertifikasi lebih dibahas detail oleh Drs Supriyanto MSi, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional. Dijelaskannya, sertifikasi profesi itu ada dua, yakni sertifikasi terhadap kompetensi profesi dan sertifikasi untuk mendapat status profesi. “Sertifikasi bukan sekedar tanda kompetensi,†ungkapnya. Tapi, sertifikasi juga diharapkan sebagai wujud bahwa pustakawan berhak memperoleh tunjangan lebih atas kinerjanya.
Secara gamblang, ketua tim penilai JFP pusat ini menjelaskan stategi yang perlu dilakukan para pustakawan, seperti penguatan sumber daya manusia dan penguatan teknologi informasi dan komunikasi. Senada dengan Supriyanto, Drs Syamsul Rizal dari kementrian pemberdayaan regulasi sertifikasi juga menekankan kemudahan sertifikasi.
“Dalam pengangkatan jabatan dibedakan antara pustakawan tingkat terampil dan pustakawan tingkat ahli,†tuturnya sembari menyebutkan syarat masing-masing tingkatan pustakawan. Secara umum, syaratnya meliputi ijazah, menduduki pangkat pengatur muda, dan bertugas di perpustakaan sekurang-kurangnya dua tahun.
Melalui acara ini, diharapkan potensi dan pemahaman pustakawan tentang sertifikasi lebih baik. Permata Wahyu, salah satu peserta seminar ini mengungkap seminar ini dibutuhkan untuk terus mengasah kemampuan pustakawan. “Jika dulu belum dapat ilmunya, kita bisa dapat sekarang,†ujarnya. Seminar ini akan dilanjutkan dengan pelatihan bagi tiga puluh orang pustakawan SMP, SMA dan SMK selama lima hari mendatang. (esy/nrf)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung
Kampus ITS, ITS News — Guna meneguhkan komitmen sebagai World Class University (WCU), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyiapkan