“Aku sudah bosan seperti ini, kuno,†ujar Sri. “Bagaimana kalau kita berubah sedikit modern. Pakai celana jeans, t-shirt, dan kalung bagus?†lanjutnya.
Itulah sepenggal dialog dalam penampilan teatrikal Tiyang Alit. Dalam teatrikal berjudul Panggung tersebut diceritakan tentang budaya pewayangan yang semakin minim penggemar. Bahkan sekarang hampir tenggelam di tengah-tengah era globalisasi dan modernisasi.
Sang Dalang yang diperankan oleh Chandra Eka S atau Tile memimpikan wayang-wayang yang biasa ia mainkan, Sri dan Sujiwo, tiba-tiba hidup dan protes mengutarakan isi hati mereka. Wayang berebut ingin tetap dipandang dan digemari oleh masyarakat Indonesia, tak terkecuali para pemuda. Salah satunya adalah mengganti kostum mereka menjadi lebih modis, serta musik pengiring mereka diganti dengan musik yang akrab didengar seperti musik pop dan dangdut, dan bukan lagi gamelan.
Cinditya Estuning, ketua panitia Dies Tiyang Alit mengaku arek-arek Tiyang Alit tidak main-main dalam memersiapkan penampilannya malam itu. Demi penampilan ini, mereka rela menyibukkan diri dalam kurun waktu dua minggu lebih. “Semua kostum dan properti yang dipakai itu buatan sendiri,†tutur mahasiswi Planologi ini.
Sesuai dengan tema yang diangkat dalam pagelaran malam itu, yakni Pentas Budaya Desa Kita, melalui teatrikal tersebut, Tiyang Alit mencoba menyadarkan kaum muda untuk tetap melestarikan budaya yang dimiliki bangsa. “Teatrikal Panggung merupakan gambaran betapa budaya kita sudah tertutupi hal-hal baru. Dan yang terpenting adalah ada tindakan setelah menonton teatrikal ini,†ungkap Chandra Eka S secara khusus pada ITS Online.
Selain aksi teatrikal dari kelompok Larva (angkatan termuda Tiyang Alit), penonton yang hadir juga dihibur dengan penampilan teatrikal dari Dewan Adat (alumni Tiyang Alit), tarian dan puisi kontemporer, serta penampilan spontan dari teater-teater undangan seperti kelompok teater asal Ponorogo yang menampilkan pertunjukan puisi yang dipadukan dengan aksi ekstrem semburan api.
Pada akhir acara, seluruh penonton dan undangan diajak makan tumpeng bareng guna merayakan eksistensi kelompok teater Tiyang Alit yang sudah berkarya sejak 14 tahun yang lalu. “Jika dunia adalah cinta, maka kita adalah satu. Aku cinta kamu,†seru seluruh anggota Teater Tiyang Alit bersama-sama sebelum mengakhiri pagelarannya malam itu. (fz/bah/nda)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung