Seperti biasa, pertunjukan kesenian dari Kiai Kanjeng selalu spektakuler. Satu jam sebelum acara dimulai pun tampak beberapa pengunjung berduyun-duyun mencari tempat duduk depan supaya lebih nyaman dalam menyaksikan pertunjukan. Bahkan, sore harinya ketika masih dalam uji coba alat musik, tampak pula beberapa masyarakat menyaksikannya dengan penuh antusias.

“Menginjak usia 50 tahun, semoga ITS Emas semakin berjaya!” kata suami Novia Kolopaking ini diikuti sorak tepukan sivitas akademika ITS. Emha menambahkan, umur lima puluh tergolong relatif muda bagi sebuah institut. Namun, dia turut berbangga melihat kemajuan ITS yang sangat pesat di usia belia ini.

Cak Nun mengajak seluruh sivitas akademika ITS untuk melebur menjadi satu kesatuan dalam birunya ITS. Menurutnya, salah satu faktor pendukung kemajuan sebuah institusi adalah kebersamaan. “Ayo guyub, rek, singsingkan dulu embel-embel ras, suku, agama, bahasa, budaya, dan lainnya,” ajaknya kepada pengunjung.

Alunan tembang khas Cak Nun pun mengiringi wejangannya. Perpaduan musik kontemporer, alat musik modern, dan kebudayaan Islam menjadi sebuah karya seni tinggi yang menambah khasanah budaya Indonesia. Bahkan, dalam sebuah lagu, Cak Nun menjelaskan kalau lagu tersebut merupakan lagu umat Kristen yang sering dinyanyikan di gereja, namun diaransemen ulang dengan lirik dan musik secara Islami. “Ada batasan-batasan dalam agama. Namun dalam kesenian budaya, semua suku bangsa dan agama itu satu kesatuan, Indonesia,” jelasnya.

“Alhamdulillah, pertunjukan Kiai Kanjeng malam ini benar-benar spektakuler,” ungkap Ainun Naim, salah seorang pengunjung. Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu menyebutkan bahwa hiburan ini mampu membuatnya melupakan sejenak tentang tugas kuliah. Menurutnya, seniman-dai kontemporer yang mampu berbaur dengan masyarakat seperti Cak Nun-lah yang dibutuhkan oleh masyarakat heterogen Indonesia. (niv/tyz)