ITS News

Minggu, 28 April 2024
25 Oktober 2010, 09:10

Baliwerti, Oktober 1977

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara,”Turunkan Suharto!”. Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram. Tentu dengan tanda tanya besar di kepala.

Saat itu, hanya orang kurang waras yang berani berbicara tentang keruntuhan Suharto. Apalagi kemudian, Suharto balas menyerang. ”Jangan macam-macam, atau anda di-PKI-kan,” titahnya di hadapan pers. Ingat, waktu itu ABRI dengan segala elemen tempurnya telah bersumpah setia mengawal orde baru. Dan pers? “Catat baik-baik titahku, atau breidel!”.

Mahasiswa dan ABRI pun berpisah jalan. Setelah sama-sama menjungkal absolutisme orde lama, muncul sekelebat harapan. Ternyata, harapan tidak lebih dari tepukan sebelah tangan. Orde baru sedang meniti karir menjauhi nurani. Mahasiswa undur diri. Mereka dihadapkan dua pilihan: bekerja sama menikmati surga atau tetap bergelora dan memilih neraka.

Tiga tahun setelah kegagalan Malari, mahasiswa semakin bosan dengan segala macam kebobrokan. Jikalau Orla bergerak terlalu kiri, maka Orba meluncur jauh ke kanan. Keduanya sama-sama punya kredo suci,”Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Ternyata, ludah yang sudah jatuh ke tanah itu, dijilat lagi dengan nikmat.

Mega-korupsi Pertamina dengan Ibnu Sutowo sebagai pemeran utama, hanyalah pemantik. Besarannya membuat semua orang menganga. Sutowo merampok Rp 90 milyar rupiah uang negara saat harga satu dollar masih Rp 400. Pertamina pun nyaris tewas seketika dengan hutang 10 miliar dollar. Dihukumkah dia? Tidak, di pundaknya ada tiga bintang bersepuh emas. Masuk logika.

Lebih luas lagi, mahasiswa menggugat kumpulan ekonom jebolan Berkeley. Alasannya, ijtihad “mafia” ini cukup panas di telinga. Konon, postulat mereka berbunyi,”Ekonomi Indonesia hanya bisa selamat dengan pinjaman luar negeri,”. Pikir anak-anak muda itu, tidakkah ini menyalahi prinsip kemandirian ekonomi?

Kemudian kasus sambung-menyambung pada perilaku monopoli. Perputaran uang dalam jumlah besar hanya terjadi pada segelintir orang. Orang kaya baru muncul di balik gubuk derita mayoritas rakyat ini. Seorang sosiolog berpendapat, kekayaan Indonesia hanya dinikmati oleh -tidak lebih- sepuluh orang. Jelas, mereka yang dekat dengan penguasa.

Tuntutan memuncak. Teriakan mahasiswa makin keras,”Hentikan diktatorisme gaya baru!”. Kendaraan politik penguasa, dengan kekuatan dana, jaringan birokrat, dan kelihaian intrik, mampu menang telak di atas 50 %. Sebuah data ganjil dalam teori politik modern multipartai. Apalagi sayup-sayup terdengar, Pemilu berlangsung LUBER. Bukan langsung, umum, dan seterusnya. Tapi, penuh luberan iming-iming serangan fajar.

Kabinet dan parlemen dikuasai, bahkan tentara memperoleh setengahnya. Wakil rakyat hanya bisa berkata setuju. Kritik dibungkam rapat-rapat. ”Negara harus stabil,” dalihnya. Dan, kestabilan batal bila muncul interupsi. Kalau tetap nekat, tahu sendiri akibatnya.

***
10 November 1977, Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Mereka yang muak akan degradasi moral, yang benci akan ketidakadilan sosial, yang rindu akan lahirnya kebebasan. Ini penampilan perdana mereka setelah tiga tahun membungkuk. Malapetaka 15 Januari 1974 menghajar mereka tepat di tulang belakang.

Hari ini, anak muda itu kembali. Ganesha sudah membara, giliran Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, hentakan mereka seirama lars pejuang. Berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.

Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.

Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,”Padamu Pahlawan Kami Mengadu,”. Juga dengan pengawalan ketat tentara.

Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.

Acara yang sangat sederhana -karena memang dikumpulkan dari dana swadaya- bubar tanpa bentrokan. Tapi, ada sedikit rasa gentar yang tak bisa hilang dari wajah mereka. Moncong senjata itu tak nampak ramah seperti tahun 1966 silam. Sebegitu membahayakankah mahasiswa?

Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas. Jangan bayangkan kondisinya sama ketika 1998. Soeharto saat itu malah berada di puncak pamor. Setelah satu dekade berkuasa, itulah kali pertama muncul poster bernada,”Gantung Soeharto,”. Menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.

Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS juga rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. “Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan,”.

Sayang, pil pahit harus ditelan. Agenda aksi selama setahun ke depan terpaksa berhenti. 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih terror dan pengekangan.

Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi yang menggoyang bulu kuduk. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Padahal, mereka hanya memperbaiki kebobrokan, itu pun tidak memakai senjata. Mengapa harus sampai kebakaran jenggot?

Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Mau kuliah? Buat apa? Mereka hanya mencari anak muda pada foto-foto yang sudah diberi tanda silang. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.

Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan dianggapnya medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.

Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk “daftar dicari” Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.

Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses kejar-kejaran itu, mereka tidak kapok "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Pak Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.   

Hubungan militer-mahasiswa tidak semesra 1966. Ali, Benny, dan Soedomo, trio jenderal paling disegani saat itu, siap menggonggong untuk setiap satu kata protes. Mahasiswa berani melawan? Tidak, mereka tidak berniat mengulang dongeng David melawan Goliath.

Akhirnya anak-anak muda itu menyerah. Dari luar, persiapan penyerbuan sudah matang. Pendudukan militer di ITB hampir saja terulang. Dengan berat hati, untuk keamanan kampus, Pak Rektor meminta mereka yang dicari untuk menyerahkan diri pada pihak berwajib. Tapi mereka pinta satu syarat: jangan masuk kampus dengan atribut militer. Dan, pihak berwajib sepakat.

Proses penyerahan diri dilalui dengan haru. Ratusan mahasiswa berkumpul di rektorat untuk melepas pimpinan mereka. Penyerahan ”tawanan” itu akhirnya berlangsung aman. Delapan orang mendekam dalam kurun 3-12 bulan. Tanpa tuntutan, tanpa pembelaan, tanpa peradilan.

Hidupnya makin bias. Meloncat-loncat dari satu penjara ke penjara lain. Selama itu, mereka dilarang bertemu kerabat, berjumpa kawan seperjuangan, terpenting dilarang bicara ”keras-keras”. Shock therapy yang mengguncang cairan otak, cukup menjahit mulut rapat-rapat.

”Man totet dengeest nicht” (orang tidak akan pernah bisa membunuh semangat)

Setahun bukan waktu sedikit. Apalagi suasana sesunyi terali besi. Akhirnya pimpinan DM ITS dibawa menghadap hakim. Ada tiga orang yang disidang saat itu, dua dari ITS, satu dari IAIN, satu lagi dari Malang. Sudah tertebak jawabannya. “Anda bersalah,”. Ada dua pilihan, kembali ke sel atau mohon ampun pada “baginda raja”. Grasi, mereka tolak mentah-mentah.

Pengadilan tidak lebih dari permainan. Prinsip Habeas Corpus mampus dimakan jaksa penuntut umum. Mungkin, order-nya memang begitu. Dalam pledoi berjudul “Menggugat Pemerintahan Otoriter”, ia berargumen. “Ini hak rakyat untuk merdeka bergerak dan berkumpul,”.

Beberapa fungsionaris yang sudah bebas, kembali ke kampus. Dasar memang bawaan lahir, mereka bangunkan DM ITS yang sudah dibubarkan. Tak menunggu lama, jatuhlah skorsing. Bukan hanya itu, mereka dilarang menginjak kampus, untuk sekedar asistensi atau bertemu kerabat sekalipun.

Begitu tegakah Pak Rektor? Tidak. Justru, ia menyelamatkan banyak orang. Konon, pesanan dari Jakarta, meminta anak-anak bengal itu di-DO sekalian. Kalau tetap bersikukuh melindungi, ingat pengalaman ITB. Pak Rektor dengan bijak mengambil jalan tengah. Suasana kampus pun bisa terkendali.

Akhirnya, DM benar-benar mati. Dikubur dalam api nuraninya sendiri. Biarlah mereka berkisah. Baliwerti jugalah jadi saksi. Kini, mereka tinggal kenangan. Sukolilo menunggu semangat yang sama. Menghadapi ketimpangan dengan gelora kemanusiaan. Berkorban apa yang dimiliki, dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk rakyat.  

***
Suatu ketika saya melintasi wilayah Gebang Lor, perkampungan terdekat dari pintu masuk utama ITS. Melihat ibu-ibu jual es buah di pinggir jalan, saya berhenti sekedar melepas dahaga. Di tengah ia menyiapkan es yang saya pesan, ia bertanya,”Mas, HMI ya?”.

“Bukan-bukan Bu,” saya segera menampik. “Oh, saya kira HMI,” jawab ibu setengah baya itu sedikit kecewa. Pikir saya, wajarlah pertanyaan Ibu itu. Sebab, beberapa rumah dari lapak es buah yang seadanya itu, ada sekretariat HMI. Saya memang kenal dekat dengan beberapa fungsionaris organisasi ekstrakampus yang ada di ITS, tapi saya tidak pernah menjadi anggota salah satu dari organisasi itu.

“Mas, tolong…didemo itu pemerintah. Sembako semakin mahal, kasihan orang seperti saya ini,” ia memulai curhat colongan. Saya terdiam. Ternyata, setelah 30 tahun peristiwa 77/78, praktek exploitation de l’homme par l’homme tampak di pelupuk mata. Lantas orang-orang kecil itu, siapa yang membela? Tidak ada! Kecil tetaplah kecil.

Yah, boleh jadi, parkiran di kampus ITS makin hari makin penuh mobil mewah. Tapi, Gebang dan Keputih, “istana” bagi para mahasiswa itu, tetap terpuruk meronta-ronta. Jangan kira mereka bangga karena gubuknya “mepet tembok” dengan kampus semegah dan setenar ITS. Buat apa bangga, kalau ternyata untuk hidup layak saja susah.

Lalu, kemana anak-anak muda yang rajin mengoreksi kehidupan sosial itu? Hmmm, sayangnya mereka sudah terlanjur di-stigma-kan negatif. Mulai dari stigma mahasiswa kurang kerjaan, sampai anggapan mahasiswa yang tak tahu adab. “Sudahlah…nggak usah mikir negara. Benahi dirimu dulu,” ujar mereka yang “bijak”. Sementara yang lain berkata,“Kuliah yang bener sana!”.

Tahun 1977-1978, sebuah lingkar sejarah yang terlupakan. Peristiwa 77/78 memang tak semegah kudeta sipil 1966 dan 1998. Bahkan dinilai dari kualitas gerakan -walau sama-sama menemui kegagalan- tidaklah menimbulkan efek sporadis seperti halnya gerakan mahasiswa Sorbonne di tahun 1968 atau Peristiwa Tiannamen di penghujung dekade 80-an. Secara kebetulan, mereka sama-sama hangus diberangus militer.

Namun, telaahlah lagi dengan seksama. Inilah peristiwa yang menjadi tonggak reduksifikasi gerakan moral dari jiwa raga mahasiswa. Butuh dua dekade untuk menyembuhkan kembali. Kemandulan gerakan mahasiswa sebagai korektor sosial saat ini bisa jadi efek domino dari peristiwa 77/78. Sehingga butuh dua dasawarsa lagi –dihitung dari peristiwa 98- sampai akhirnya gerakan moral itu muncul kembali.

Ajakan untuk kembali ke kampus, bukan hal baru bagi sejarah gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa hanya boleh melihat buku mata kuliahnya, hanya boleh berkumpul dengan orang-orang seilmu-sebidang. Dilarang tengok kanan-kiri, apalagi berlagak jadi kritikus sosial. Fokus, fokus, fokus, jangan banyak protes!

NKK/BKK sukses besar ”meluruskan” suara-suara miring dari kampus. Itulah saat-saat terakhir mahasiswa menggelar studi extraparlementer. Mereka begitu rajinnya menggelar mimbar bebas, menyusun berlembar-lembar koreksi pada jalannya kehidupan bernegara.

Saat itu, suara mereka didengar kata per kata oleh seorang lurah, bahkan juga sang presiden. Namun setelah itu, Dewan Mahasiswa bubar barisan. Semua mahasiswa merunduk menghindari peluru.
 
Sekarang? Aksi-aksi mahasiswa lebih diidentikkan sebagai bentuk civil disobedience atau pembangkangan sipil. Sepertinya, kita pula harus memformat ulang arah pergerakan agar lebih efektif. Jangan hentikan aksi-aksi turun ke jalan. Namun, jangan lupa aksi-aksi langsung (direct action) ke masyarakat lewat berbagai bidang seperti teknologi, pendidikan, serta pemberdayaan sosial yang menuju ke arah kemandirian. 

Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta

Bahtiar Rifai Septiansyah

Inspirasi:
Buku “Menentang Tirani” karya Edy Budiyarso
Diskusi malam dengan Ir Djawahir Adnan (ex-fungsionaris DM ITS 1976-1978, sekarang Sekjen IKA ITS)
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Baliwerti, Oktober 1977