ITS News

Sabtu, 20 Desember 2025
20 September 2010, 20:09

Griya Unik ala Asjhar Imron

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kini, rumah tersebut berdiri elegan. Sangat berbeda dengan rumah-rumah bergaya modern lainnya di gang Keputih Perintis V. Jangankan di Surabaya, di daerah asalnya saja, rumah seperti itu sangat langka.

Asjhar sendiri tak banyak bercerita mengenai rumahnya. Meskipun saat pembangunan rumah tersebut namanya sempat muncul di berbagai media dan majalah desain arsitektur. Namun ia mempersilahkan siapa saja yang hendak berkunjung ke rumahnya, apalagi untuk berfoto-foto di sana.

“Silahkan bila ingin main-main ke sini, foto-foto sampai puas,” ujarnya ramah ketika reporter ITS Online berkunjung ke rumahnya itu. Bagaimana reaksi para pengunjung di rumahnya? “Yah, biasa,” jawab Asjhar, “Mereka rata-rata kagum,” tandasnya sembari tersenyum.

Arsitektur nusantara terasa kental saat pengunjung memasukinya. Dinding-dinding rumah atau gebyok terbuat dari kayu jati asli dengan berbagai macam ukiran. Pada ruang utama, segera terlihat empat tiang utama di tengah ruangan, soko guru. Tiang-tiang itu menopang balok-balok kayu yang membentang sebanyak tiga tingkatan, sebelum berhubungan dengan atap rumah.

Baik gebyok, soko guru, maupun balok-balok tersebut semuanya dihiasi ukiran. Hanya saja, motifnya berbeda. Soko guru dan balok-baloknya ukirannya asli sejak jaman canggah-nya itu. “Ukiran-ukirannya lebih besar,” jelas Asjhar sambil mengarahkan sebuah laser pointer kearah yang dimaksud, “Dan masih berbau unsur-unsur kebudayaan Hindu,” contohnya. Bila dilihat sekilas, ukiran pada soko guru itu mirip dengan ukiran-ukiran Bali.

Sementara untuk gebyok, ukirannya memang kecil-kecil dan lebih rumit. “Para pengukir menyebutnya ‘tiga dimensi’,” terang Asjhar lagi. Pada bagian-bagian ini, motifnya asli Kudus dan lebih berbau Islami. Elemen-elemen pada motif tersebut menggambarkan infinity- tak hingga- cerminan dari kebesaran Allah. Yang masih sama pada dua ukiran beda zaman itu adalah elemen ‘sarang lebah’. Secara sederhana, bentuknya berupa semacam kerucut dengan garis-garis menyilang.

Dosen yang pernah hidup enam tahun di Amerika ini bahkan merancang sendiri motif pada bouvenlight, lubang cahaya atau lubang ‘angin’. Ia terinspirasi dari arsitektur Islami daerah Persia (Iran). Meski berbeda aliran, motif-motif itu berpadu dengan indah.

Para pengrajin didatangkannya sendiri dari Kudus. Proses perancangan dan pengukiran dilakukan di Surabaya. “Tapi untuk melubangi kayunya sebelum diukir harus dilakukan di Kudus,” Asjhar mengenang. Jadilah para pengrajin tersebut harus bolak-balik Surabaya-Kudus selama masa pembangunan.

Memang, rumah itu tidak dibiarkan berdiri persis seperti aslinya. Beberapa perubahan dilakukan untuk mencoba menyesuaikan rumah yang biasanya berdiri di lahan berhektar-hektar luasnya dan di iklim pegunungan yang lebih sejuk.

Seperti penambahan jendela. Aslinya tak ada jendela di rumah Jawa asli, hanya lubang-lubang ukiran pada bagian bawah gebyok. “Sekarang ini, tak mungkin membangun rumah, apalagi di Surabaya, tanpa jendela,” tutur Sri Asjhar, istrinya.

Soko guru sengaja ditinggikan. Tanpa penambahan itu, ruangan dalam rumah tak akan mencapai ketinggian tiga meter. Pada aslinya, rumah-rumah Joglo asli memang pendek,tidak jarang menyulitkan penghuninya yang bertubuh tinggi. Juga penggunaan kaca pada seluruh dinding sisi timur. Dinding kaca itu menghadap langsung ke sebuah teras berbentuk joglo kecil.

Tak hanya melibatkan banyak pengrajin, tetapi juga banyak arsitek. Sudah tak terhitung berapa jumlah arsitek yang terlibat dalam pembangunan rumah unik itu. Ada dua arsitek dari ITS yang terlibat langsung di dalamnya, yaitu Prof Dr Ir Josef Prijotomo M Arch dan Ir Andy Mappa Jaya MT. Keduanya ahli arsitektur tradisional, dan Andy juga menguasai arsitektur Islami.

Selain mendatangkan arsitek, Asjhar juga mendesain sendiri rumahnya. Untuk itu, ia harus banyak-banyak membaca mengenai arsitektur tradisional. “Ternyata ada banyak sekali makna dari rumah Joglo yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui,” ujarnya kagum.

Seperti ukiran ‘sarang lebah’, yang berarti bahwa rumah orang Jawa harus senantiasa menghasilkan kebaikan. Juga ukiran-ukiran pada balok-balok yang ditopang soko guru yang menggambarkan pribadi-pribadi lain yang harus dimilki orang Jawa.

Rumah tersebut tidak berdiri sepenuhnya berdiri secara tradisional. Ternyata, dengan menggabungkan unsur tradisional dan moderen, rumah tersebut masih bisa terlihat elegan. Bagian belakang ruang utama merupakan dapur sekaligus bar tempat makan yang modernis. Bahkan lighting, atau pencahayaan di seluruh rumah juga tersembunyi, gaya khas modernis.

Kamar tidur yang hanya satu buah di lantai bawah sama saja. Orang mungkin takkan mengira karena pintunya penuh ukiran. Namun ketika masuk, pengunjung disambut dinding-dinding rata, perabotan mengkilat serba kotak, hasil sentuhan para arsitek modern.

Di sisi selatan berjejer pintu-pintu walk-in cabinet. Tapi yang mencengangkan, tak semuanya merupakan tempat menyimpan pakaian. Salah satunya justru tempat menyimpan kamar mandi. Ya, sebuah kamar kandi tersembunyi di balik lemari-lemari itu. Sementara bagian rumah belakang sepenuhnya modernis dan digunakan sebagai kos mahasiswa.

Di mana tempat favorit Asjhar? Ternyata ia paling suka berada di mini joglo-nya, yang lantainya terbuat dari kaca. Di situ, ia bisa duduk-duduk tenang menikmati udara segar sambil memandangi ikan-ikan koi yang berenang di bawah kakinya.

Mengenai biaya, Asjhar sudah tak begitu memperhatikan lagi. Menurutnya, biaya pembangunan bagian rumah joglo dengan rumah yang modernis hampir sama besarnya. “Kami hanya ingin ikut melestarikan warisan budaya yang sangat berharga ini,” pungkasnya. (lis/yud)

Berita Terkait

ITS Media Center > Profil > Griya Unik ala Asjhar Imron