ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
30 Juli 2010, 10:07

Ingin ITS Diakui Dunia Internasional

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pria kelahiran Tulungagung, 29 Januari 1960 ini memang mempunyai visi yang besar bagi ITS. ”Saya ingin meningkatkan inovasi pada core business ITS sehingga nantinya bisa diakui di tingkat internasional,” tandasnya.

Baginya, sangat penting bagi ITS untuk diakui di tingkat mancanegara. Namun hal tersebut hanya dapat dicapai melalui inovasi yang kompetitif dari pihak ITS dengan dunia luar. ”Bisa di bidang akademik, seperti memperbanyak karya dan publikasi, bisa juga di bidang manajemen institusi,” jelasnya.

Soal kepemimpinan, kemampuan ayah tiga anak ini nampaknya sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak bersekolah, ia sudah aktif dalam berbagai organisasi. Hal tersebut berlanjut ketika ia kuliah sebagai mahasiswa angkatan 1979 Teknik Mesin ITS sekaligus aktivis yang giat. Ia sudah dua kali menjabat sebagai Kepala Jurusan Teknik Mesin ITS, sejak 1996-2003. Selepas menjadi Kajur, ia dinobatkan sebagai Dekan FTI hingga tahun 2007.

Justru setelah usai menjabat sebagai dekan, niatnya untuk memajukan ITS semakin subur. Awalnya Triyogi mengira bahwa setelah menjadi dekan, ia akan hidup lebih enak, bisa melakukan riset sendiri, lebih nyantai dan tidak terbebani. ”Dan memang begitu, tapi kebahagiaan itu hanya untuk saya sendiri,” ceritanya.

Ia mulai merasakan bahwa bagaimana selama ini, ITS kurang ngopeni (memelihara-red) dan memberikan apresiasi terhadap mahasiswanya. Padahal, banyak karya mahasiswa yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Contohnya, mobil juara tingkat internasional, Sapu Angin yang baru mendapatkan dukungan penuh dari pihak ITS ketika sudah dikenal di tingkat mancanegara.

Padahal, banyak hal yang bisa dipelajari dari kasus tersebut. Salah satunya, adalah hubungan antara mahasiswa dan dosen. ”Saya turut membimbing secara behind-the-scenes,” akunya. ”Saat itu, saya melihat sebuah budaya kerjasama harmonis yang kuat antara para dosen dan mahasiswa,” lanjut lulusan S2 dan S3 Institut National Polytechnique de Grenoble, Prancis ini.

Inilah yang ia harapkan untuk bisa tumbuh di seluruh kalangan ITS, bukan hanya di jurusannya sendiri. Diawali dengan kerja sama yang harmonis antar seluruh lapisan masyarakat ITS, baik mahasiswa, dosen, karyawan maupun birokrasi pusat.

Kerja sama ini diperkuat dengan adanya tingkat kesejahteraan yang merata di antara seluruh kalangan tersebut. ”Seperti misalnya laboratorium yang terfasilitasi dengan baik,” ia mencontohkan. Dengan ketiga faktor penting tersebut, maka barulah ITS dapat mencapai keunggulan dalam berkarya.

Ketiga faktor itu juga yang ia rangkum dalam slogan kampanyenya, 3Y3K (dibaca menggunakan bahasa Inggris: tri wai tri kei). Dua karakter pertama, 3Y, merupakan simbol untuk namanya, sedangkan 3K merupakan tiga faktor kuncinya, kebersamaan, kesejahteraan dan keunggulan.

Jauh sebelum ia mencalonkan sebagai rektor, ia sudah mulai merintis targetnya ini. Sasaran pertama Triyogi, adalah mahasiswanya sendiri. ”Saya sangat mendukung kegiatan kemahasiswaan. Namun, saya selalu menuntut mahasiswa saya untuk berinovasi dalam konsep mereka,” ungkapnya. Jadi, Triyogi tidak asal mendukung berbagai kegiatan mahasiswa di jurusan.

Ia memastikan bahwa konsep yang mereka ajukan benar-benar kreatif dan inovatif, dan bahwa mahasiswanya bisa mengorganisasi secara mandiri, bahkan dalam mencari sponsor. Ia baru bersedia memberikan tambahan dana bila memang kurang.

Dengan begitu, Triyogi memang dikenal sangat dekat dengan mahasiswanya. Bahkan ia mengaku, bahwa semasa menjadi dosen muda dulu, ia sering menemani mahasiswanya hingga larut malam. ”Saya dianggap sebagai motivator oleh mereka,” kenangnya.

Selain itu, salah satu inovasinya di bidang manajemen institusi juga masih dirasakan oleh mahasiswa ITS sekarang. Ya, Triyogi adalah pencetus kewajiban kelulusan tes TOEFL bagi seluruh mahasiswa ITS yang hendak wisuda.

Awalnya, pada tahun 1999, ia memperkenalkan sistem tersebut kepada para mahasiswanya saja. ”Saat itu, saya tidak memberikan mereka target, hanya kewajiban mengikuti saja,” pungkas Triyogi. Dua tahun berikutnya, ia mulai memberikan standar nilai 450 bagi kelulusan mereka. Baru pada tahun 2004 sistem tersebut disahkan dalam peraturan akademik ITS.

Melalui pengalaman-pengalamannya itu, Triyogi mengaku bahwa targetnya tidak akan dicapai secara mudah dan instan. Bahkan, masa kepemimpinannya nanti apabila terpilih sebagai rektor belum menjamin keberhasilan eksekusi misi-misinya itu. Namun, ia akan tetap ikhlas, apapun yang terjadi.

Ia juga percaya bahwa usahanya selama ini tidak akan sia-sia. ”Saya yakin, bahwa meskipun saya tidak menjabat rektor namun rektor yang menjabat juga akan menerapkan ide-ide saya,” ujarnya mantap. Kampanye Triyogi dapat diikuti melalui akun Facebook-nya, Triyogi for rector. (lis/bah)

Berita Terkait