ITS News

Sabtu, 20 Desember 2025
24 Juli 2010, 02:07

Dunia Karawitan Ala Tenik Elektro ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tak disangka, komunitas karawitan ini bermula sejak reuni akbar Teknik Elektro tahun 1995. “Itu reuni akbar 35 tahun,” jelas Sarmo, tukang parkir jurusan tersebut. Pria yang kerap disapa mbah Mo ini memang mengetahui seluk-beluk komunitas karawitan di Teknik Elektro. Meski usianya sudah lanjut, memori tentang karawitan tidak akan lepas begitu saja.

“Dulu disini ada karawitan, ludruk, dan tari. Tapi, yang masih bertahan hinga sekarang hanya karawitan,” ceritanya. Karawitan ini pun bukan berawal dari keinginan mahasiswa. Namun, justru para dosen dan karyawan lah yang getol mengandrungi seni satu ini. “Banyak dosen yang suka karawitan disini,” tambahnya.

Sejak dibentuk, komunitas ini masih tak memiliki perangkat gamelan. Meski tidak ada alat, mereka dengan niat sungguh-sungguh tetap latihan. “Mereka pinjam alat untuk latihan,” ungkapnya sembari menyebutkan hal itu pula yang dilakukan komunitas saat pagelaran tiba.

Tahun1996, komunitas ini sudah memiliki sedikit perangkat yang cukup untuk mengimbangi keinginan mereka. “Waktu itu hanya ada perangkat slendro (untuk nada rendah, red), seperti gendang, bonang barung, gong, dan lainnya,” jelas tukang pakir legendaris ini. Ia juga menyebutkan, setiap 5 tahun pasti akan ada hal baru dari komunitas ini.

Perubahan tak hanya terpaku pada perangkat gamelannya saja. Tempat latihan pun menjadi sorotan. “Dulu letaknya di ruang lab komputer kemudian dipindah ke sebelah lapangan futsal,” ulasnya lebih jauh. Memang pembangunan tempat karawitan yang lebih dikenal elektro boedodjo ini dilakukan bertahap hingga menjadi bangunan kokoh seperti saat ini.

Sebenarnya, nama elektro boedodjo adalah nama komunitas karawitan tersebut. Namun, seiring pergantian tahun, mahasiswa lebih akrap menyebut nama itu sebagai nama tempat latihan karawitan. Vishwa Patra Pradana, mantan ketua minat bakat yang bersama Sarmo saat itu juga mengungkap perubahan nama komunitas karawitan ini. “Sekarang namanya electrophonic,” jelas mahasiswa yang lebih senang dipanggil Wawan.

Menurut Wawan, tiap tahun peminat karawitan ini cukup banyak seperti sejak awal dibentuk. Tapi, reduksi peserta itu selalu muncul hingga mahasiswa yang tergabung saat ini berjumlah 15 orang. “Setiap tahun pasti ada pasang surut,” ujar Wawan. Jika diingat peminat karawitan itu memang datang saat mereka memainkan musiknya di sanggar elekto boedodjo.

Sekedar informasi, sampai saat ini komunitas ini tetap dibagi menjadi dua, yakni dosen dan karyawan serta mahasiswa. Meski begitu, mereka acapkali latihan bersama dan masih dalam satu kesatuan karawitan Teknik Elektro.

Untuk latihan, komunitas mahasiswa sengaja mendatangkan pelatih dari luar. “Hampir semua tak memiliki basic karawitan,” tambah Wawan. Kondisi ini memang berbeda dengan komunitas dosen yang secara umum mahir memainkan perangkat gamelan. Jika ada mahasiswa yang sudah jago ketika awal mengikuti karawitan, tentunya ia sudah senang dengan karawitan di SMA-nya dulu.

Ketika berbicara kondisi karawitan, Wawan hanya bisa mengungkap semua sudah berbeda. “Dulu orang ada alat tidak ada, tapi sekarang alat ada orangnya jarang ada,” keluh pemain bonang barung ini. Kondisi tersebut memang harus dimaklumi jika mengingat kesibukan mahasiswa ataupun dosen sudah tak seperti dulu.

Meski kondisi berbeda, dosen dan mahasiswa masih antusias. “Tiap sore kami semua masih latihan. Untuk mahasiswa kamis sore,” imbuhnya. Latihan ini memang dilakukan seminggu sekali dengan diawali musik lancaran. Latihan akan semain kontinu jika akan ada pentas. “Kami masih pentas seputar ITS, seperti saat syukuran wisuda,” ungkapnya. Komunitas ini juga berkolaborasi dengan tim paduan suara ataupun tari ITS.

Komunitas ini bisa dibilang tak sebesar komunitas karawitan lain. Meski variasi kecepatan sudah mulai dipelajari, namun secara tidak langsung komunitas ini menjadi barometer seni di ITS. “Seni dan Teknologi memang tidak bisa digabungkan tapi bisa berjalan beriringan,” ujar Wawan. Ia hanya bisa berharap seni khas Jawa ini tetap dilestarikan generasi bangsa. (esy/fn)

Berita Terkait