ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
14 Juli 2010, 19:07

Membangun Pendidikan Sosial di Kampus Teknologi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seminar Nasional Pendidikan yang dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Mata Kuliah Sosial Humaniora (UPM Soshum) ini berlangsung di Lantai 1 Gedung Rektorat ITS. Dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Prof Dr Jalaludin Rahmat MSc, Prof Dr Daniel M Rosyid dan Dr Heri Suharyanto mengupas tentang perlunya kompetensi sosial di kalangan civitas akademika kampus teknik.

Pada acara bertajuk Peran Pendidikan Sains dan Teknologi Sebagai Wahana Penguatan Moral Sosial di Era Global, Jalaluddin Rahmat mengawali dengan teori Social Capital. Menurutnya bentuk kerjasama suatu masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Pria yang akrab disapa Jalal ini memberikan contoh pemenang Nobel pada tahun 2006 dari Bangladesh, Muhammad Yunus yang mendirikan Grameen Bank. ”Di bank tersebut, sekelompok masyarakat dapat meminjam sejumlah uang dari bank tersebut untuk meningkatkan hidup. Pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh sekelompok tersebut,” ujarnya.

Menurut cendikiawan muslim ini, lembaga pendidikan juga dituntut tidak hanya mampu menghasilkan lulusan untuk bekerja. Ia mengistilahkan dengan frase buruh pabrik untuk menggambarkan proses pendidikan yang jauh dari esensi mendidik. ”Banyak sekolah yang hanya berfungsi sebagai tempat guru mengajar bukan tempat murid untuk belajar,” ungkap penggila ilmu filsafat tersebut.

Sementara itu Daniel M. Rosyid lebih menegaskan pentingnya mengubah kebudayaan masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi. Menurutnya, kebudayaan Indonesia telah banyak berubah menjadi budaya yang kurang disiplin, lebih instan dan lebih mengandalkan hal-hal yang dapat ditonton daripada yang dapat dibaca. ”Padahal membaca merupakan kunci kebudayaan,” tutur guru besar Teknik Kelautan ini.

Menurut salah satu anggota komite The Royal Institution of Naval Architects (RINA) ini justru lembaga pendidikan saat ini hanya fokus pada hal-hal yang tidak penting. Namun hal penting malah sering diabaikan, salah satunya softskill. “Hal yang penting itu mudah diukur namun yang tidak penting itu malah gampang diukur, karena penting sehingga susah diukur,” imbuh dosen kelahiran Klaten ini.

Selain itu dosen Teknik Kelautan ini juga menekankan pentingnya kompetensi sosial di tengah-tengah ilmu teknik. Model pendidikan yang diusung ini disebutnya sebagai pendidikan Pendidikan ini yang terangkum dalam bidang sains, matematika dan teknologi tanpa melupakan bahasa, filsafat, sejarah, seni dan olahraga. Aspek sosio-teknologi ini lebih umum disebut sebagai Liberal Art. “Negara Belanda, Jerman, Inggris, Kanada, Amerika Serikat memiliki tradisi Liberal Art yang cukup lama. Namun di Indonesia juga ada yang diusung oleh pendidikan pesantren yang nyatanya mampu melahirkan founding father dalam sejarah Indonesia,” ujarnya.

Terakhir, Dr Heri Suharyanto memaparkan tentang pentingnya pemahaman masyarakat dalam penerapan teknologi. Berkaca dari fakta yang ada, resistensi masyarakat terhadap penerapan teknologi sering kali terjadi dan tak jarang menjadi pemicu konflik kultural. Heri menambahkan bahwa salah satu fakor penyebabnya adalah berkurangnya modal sosial yakni budaya gotong royong dalam masyarakat. “Gotong royong itu kan merupakan energi kolektif masyarakat yang mulai tergerus oleh nilai individualis,” ungkapnya. (hoe/lis/fn)

Berita Terkait