ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
15 Juni 2010, 14:06

Zia Ardhi, Ketika Mawapres Justru Menghampirinya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Menjadi Mawapres bukanlah mimpi utama Zia selama kuliah. Banyak beban yang dirasa mahasiswa Teknik Kimia ini untuk menjadi Mawapres. Yang terberat baginya adalah tanggung jawab moral. Seorang Mawapres setidaknya akan dijadikan panutan bagi mahasiswa di sekitarnya. Apalagi Zia juga merasa dirinya bukanlah seorang aktivis yang menjadi point Mawapres pula. “Terlalu berat deh, terlalu banyak yang ber-IP tinggi,” katanya sambil membandingkan IP-nya yang “hanya” 3,21.

Namun semua pandangannya tersebut berbelok 180 derajat ketika dia mengkuti National Achievment and Motivation Training, seminar motivasi yang diadakan oleh BEM ITS. Sang pengisi acara Danang A Prabowo  yang juga Mawapres Nasional 2007 sukses mengubah paradigmanya tentang sosok Mawapres. “Motivasi dari Mas Danang menjadi salah satu pertimbangan akhirnya saya mendaftarkan diri menjadi Mawapres, ” ungkap pria kelahiran Toulouse, Perancis ini.

Bertemu dengan puluhan peserta terbaik se-ITS baginya adalah momen paling berharga selama proses seleksi. Terlebih ketika Departemen Ristek mengadakan sekolah Mawapres. Masing-masing terlihat kelebihan dan kelemahannya. “Misalkan waktu kelas Bahasa Inggris, terlihat peserta yang jago bahasa inggrisnya. Atau ketika kelas kepribadian, terlihat sekali mana yang tipe pemimpin, suka ngomong bahkan ada yang diam terus,” ujar mahasiswa angkatan 2007 ini.

Diakuinya, peserta Mawapres tahun ini sangat variatif. Mulai dari sosok akademikus dengan IP "terancam" 4, Ketua UKM, Kahima, Ketua LDJ, Enterpreneur sampai jago bahasa inggris. Untuk menghalau para pesaingnya, Zia mengaku berusaha memaksimalkan kompetensi dirinya yaitu bidang keilmiahan. “Apalagi dua hal ini memiliki point penilaian paling besar di antara yang lainnya,” kata mantan Kadept Humas Hiimpunan Mahasiswa Teknik Kimia (Himatekk).

Akhirnya dengan berbekal presentasi makalah ilmiah berjudul “Smart Basket”, pria yang pada 8 Juni kemarin berusia 19 tahun itu dinobatkan sebagai Mawapres II tingkat Institut. Ditanya tentang perasaannya. “Bingung,” ujarnya singkat sambil menyebutkan satu nama peserta yang menurutnya inspiratif namun tidak lolos tiga besar.

Terlepas dari itu semua, Zia menambahkan, gelar Mawapres ini adalah bentuk rasa syukurnya kepada orang-orang yang sudah membantunya hingga bisa menjadi sosok Zia yang sekarang. Dia mengibaratkan, prestasinya selama ini seperti kata pepatah “Jika kalian bergaul dengan tukang minyak wangi, niscaya kalian akan mendapatkan aroma wanginya”. Lingkungan pergaulannya diakui adalah salah satu faktor atas semua prestasinya selama ini. “Terutama untuk mas Ferdy (Menteri Ristek BEM, red) yang bersedia membimbing saya dari nol. Bagi saya, beliau seperti Abang sendiri,” ulasnya.

Satu hal yang disadarinya tentang Mawapres adalah tanggung jawab moral dan saat ini menjadi tantangan tersendiri baginya. Menurutnya, esensi gelar ini bukanlah dari proses seleksi hingga menjadi juara namun yang terpenting adalah tanggung jawab ke depannya. “Gelar ini justru membuat saya harus terus berkarya namun tetap menjadi diri sendiri. Saya mencoba berbeda dengan mempertahankan apa yang saya miliki,” ungkap pria yang semasa SMA aktif di kegiatan kerohanian ini.

Hingga saat ini, dia menyadari bahwa gelar Mawapres adalah efek dari apa yg dilakukan, bukan sesuatu yang harus dikejar. “Lakukan yg terbaik dalam hidupmu, semua hal terbaik yang bisa kamu lakukan. Nanti pasti akan ada banyak efek yang bisa kamu rasakan selama hidupmu,“ ucapnya bijak.

Ditanya tentang mimpinya di masa depan. Zia mengaku sangat berkeinginan untuk bisa ke luar negeri sebelum lulus kuliah. “Entah dalam bentuk apapun, seminar, conference atau student exchange, saya berharap bisa ke luar negeri dengan membawa nama ITS. That’s my dream,” pungkasnya. (hoe/bah)

Berita Terkait