Saya mencoba mengaitkan pelajaran sejarah dengan korupsi dan menemukan beberapa keterkaitan. Diantaranya sejarah korupsi di Indonesia, sejarah dan korupsi sama-sama diajarkan di semua jenjang sekolah yang saya alami. Secara pribadi menurut saya sebenarnya keduanya adalah pelajaran yang membosankan. Hal itu mungkin terjadi karena ketika kita berbicara mengenai korupsi di Indonesia seolah bagai jalan yang tak berujung. Jauh sekali sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, korupsi sudah mendahului keberadaannya dan menjadi bagian dari sejarah bangsa.
Saya masih sedikit ingat pelajaran IPS kelas 4 SD dulu tentang Kerajaan Singosari yang didirikan Ken Arok pada 1222 M. Tradisi korupsi dan balas dendam lah yang melatari pergantian raja-rajanya. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.
Baiklah, itu masa lalu. Saya tidak ingin mengulas pelajaran sejarah yang saya sendiri
sering mengantuk ketika dijelaskan oleh guru. Tapi mari kita sedikit mundur beberapa
tahun ketika bergulingnya pemerintahan orde baru. Presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun dipaksa lengser dari jabatannya pun juga karena kasus korupsi.
Mengutip dari Koran Tempo edisi Jumat, 26 Maret 2004 yang mengatakan Soeharto sebagai koruptor terkaya di dunia. Berdasarkan laporan Transparency International, Bapak Pembangunan itu telah merampok uang rakyat mencapai US$ 15-35 miliar. Jika kurs US$ 1=Rp 9000, mengambil nilai terkecil saja 15.000.000.000 x 9.000= Rp 135triliun !!! Dua puluh kali lipat dari bailout Bank Century yang ‘hanya’ Rp 6,7 triliun.
Jika menengok masa sekarang, era pemerintahan SBY yang selama enam tahun terakhir ini berhasil menekan tingginya Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia menjadi 2,8 pada 2009, dimana tahun 2004 masih di angka 2,0 dari skala 10 (hasil lengkap di www.transparency.org).
Puaskah? Tentu tidak! Masih belum. Coba kita bandingkan dengan Singapura yang mencapai 9,2 (semakin mendekati 10, semakin kecil tingkat korupsinya), Brunai, Malaysia dan Thailand juga masih di atas kita. Kita masih sangat jauh dari angka CPI yang memuaskan.
Kalau boleh saya mengutip lagi, kali ini dari iklan: Tanya kenapa (korupsi masih melekat kuat bagai lem ataupun permen karet yang tertempel di rambut)? Menurut saya karena kita sudah diajari ilmu korupsi sejak kecil baik secara langsung maupun tidak langsung. Celakanya, kita tidak seperti polisi yang mempelajari kriminologi untuk memberantas tindakan kriminal, tapi malah belajar untuk berbuat kriminal yaitu korupsi.
Mata Pelajaran Korupsi di Sekolah
Pelajaran korupsi yang saya dapat di SD tidak tercantum dalam jadwal pelajaran seperti matematika atau PPKn. Guru saya menetapkan harga fotokopi lembar soal ulangan yang lebih mahal dari harga biasa. Bahkan ada juga guru yang secara tidak langsung memaksa siswanya untuk les di rumahnya, teman-teman yang les di sana nilainya akan lebih baik dari yang tidak.
Semakin beranjak ke tingkat SMP-SMA, modus korupsi terselubung pun semakin inovatif. Mulai setiap siswa diharuskan membeli buku penunjang melalui guru tersebut, hingga ‘sumbangan pembangunan’ yang nilai minimalnya telah ditentukan tanpa ada bukti kongkret penggunaannya untuk pembangunan.
Siswa menjadi korban? Awalnya iya! Tapi selanjutnya akan berkembang menjadi pelaku. Contoh mudahnya, setiap proposal program yang diajukan organisasi siswa mayoritas akan terjadi penggelembungan dana, dengan cara penggelembungan data. Yang tanpa kita sadari itu merupakan salah satu upaya korupsi.
Sadarkah kita bahwa hal-hal di atas sudah begitu jamak terjadi. Hal itu berarti
pendidikan korupsi telah berhasil penerapannya di Indonesia. Bahkan jika dianalogikan
seperti penyakit gagal ginjal. Pilihannya hanya dua, transplantasi ginjal atau cuci darah
seumur hidup.
Dan nampaknya yang lebih disukai pemerintah saat ini adalah pilihan kedua, walaupun
biayanya lebih mahal. Pemerintah lebih suka memelihara beberapa pejabat korup daripada memusnahkannya, padahal jelas ‘transplantasi ginjal’ lebih ampuh. Satu lagi masalahnya, sulit sekali mencari ‘ginjal’ yang cocok.
Rian Indra Manggala
Teknik Elektronika PENS ITS
ITS Online Journalist
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung