ITS News

Rabu, 01 Mei 2024
09 Februari 2009, 20:02

Malu Bertanya, Sesal Di Jalan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Beberapa waktu yang lalu, saya diundang untuk mengisi sebuah pelatihan jurnalistik di salah satu jurusan di ITS. Ada satu kekhawatiran terbesar bagi saya. Bukan masalah banyak tidaknya peserta. Atau lancar tidaknya saya dalam memaparkan materi. Apalagi berfikir masalah layak tidaknya souvenir yang akan diberikan panitia. Itu semua tidak menjadi masalah.

Waktu presentasi sebenarnya hanya satu jam. Sedangkan setengah jam selanjutnya dijadikan sesi pertanyaan. Kekahwatiran itu akhirnya terjadi juga. Selepas presentasi, moderator mengambil kendali. “Sekarang sesi pertanyaan, silahkan peserta bertanya,” ujarnya. Semua terdiam. Bayangkan, saya harus menunggu beberapa menit dalam keheningan (untung ada suara cicak menemani, ckckckc…).

Moderator mengulangi pertanyaan tadi. Tak ada tanggapan juga. Akhirnya saya “paksa” mereka angkat suara dengan menambah materi disertai pertanyaan retorik argumentatif. Ah, sedih sekali. Berat rasanya ketika menjelaskan panjang lebar sampai berbusa tapi tidak ada tanggapan. Sungguh, lebih menyenangkan bila ada seribu pertanyaan daripada hening barang semenit saja.

Kisah kedua, ketika menghadiri kuliah tamu CEO Royal Institute of Naval Architect (RINA), Mr Trevor Blakeley. Peserta yang hadir dari berbagai elemen seperti mahasiswa dan dosen ITS, perwira TNI AL, serta pelaku industri galangan. Maklum, jarang-jarang ia datang ke Indonesia. Setelah selesai presentasi, moderator angkat bicara, “Any question?”

Semua peserta terdiam termasuk saya. Apa karena terkesima dengan penjelasan Mr Trevor atau karena tidak mengerti apa yang ia jelaskan? Masuk akal juga, ia menggunakan british accent yang agak membingungkan. Belum lagi karena ia menjelaskan presentasinya seperti dikejar deadline. Tapi menurut orang yang paham, presentasinya sangat bagus. Tapi kenapa tidak ada yang menanggapi?

Sama seperti tadi. Moderator mengulang pertanyaan. Bahkan saking heningnya, moderator sendiri yang akhirnya inisiatif bertanya. Barulah ketika itu ada pertanyaan dari peserta. Saya mencoba menebak, sebenarnya banyak yang ingin bertanya hanya saja terkendala masalah translate bahasa.

Mr Trevor pun menyindir. Kurang lebih seperti ini, “Saya seperti berada dalam ruang kuliah. Ketika selesai menjelaskan maka saya minta mahasiswa saya bertanya. Tapi biasanya tidak ada yang bertanya. Berarti saya anggap sudah paham semua,” ujarnya disertai senyum kecut para peserta yang merasa tersindir.

Sekarang giliran mahasiswa yang disuruh bertanya oleh moderator. Nahloh…untung saya sudah mempersiapkan tulisan kecil berbahasa inggris yang akan saya baca ketika bertanya. Dengan rasa percaya diri tinggi (walaupun TOEFL masih di kisaran 300) saya mencoba bertanya. “E..e…How this Mister?” Maksud saya, “Bagaimana ini Pak?” atau bahasa Suroboyoan-nya, “Yo opo iki Cak?” Saya memulai pertanyaan dengan gagap. Saya gunakan teknik asal translate. Saya tidak peduli grammar atau kata-kata yang commonly used. Yang penting berani bertanya!

Saya mulai melanjutkan pertanyaan yang inti sebenarnya adalah bagaimana prospek karir di bidang perkapalan setelah krisis global? Dasar anak muda, pertanyaan itu saya perpanjang supaya dikira advanced. Akhirnya saya sendiri yang kebingungan karena melihat Mr Trevor mengerutkan dahi. Dalam hati saya bergumam, “Wah, ini bule kayaknya nggak ngerti nih, wis nggak ngurus!” Tapi saya lega dan puas atas jawabannya (walaupun sebagian besar jawabannya tidak saya pahami).

Cogito Ergo Sum
Cogito Ergo Sum atau “aku berfikir maka aku ada” merupakan pernyataan tegas seorang Rene Descrates, filosof Perancis. Proses berfikir adalah proses bertanya, sebuah epistomologis (cabang filsafat tentang asal muasal pengetahuan) yang fundamental dari teori Descrates. Sehingga disimpulkan menjadi “aku bertanya maka aku ada”. Hal itu membuka jalan bagi pertanyaan paling besar dalam jiwa manusia yaitu siapa aku? Mengapa aku diciptakan? Dan kemanakah aku setelah mati? Dari sanalah matematikawan yang terkenal melalui bukunya berjudul Le Monde (dunia) menemukan eksistensi ketuhanan.

Hal ini juga sangat berhubungan dengan sifat manusia yang ingin diakui eksistensi dirinya. Saya tertarik pada penjelasan seorang pengusaha industri maritim sukses. Ia punya hobi bertanya ketika ada pertemuan resmi antar pengusaha. Walaupun pertanyaannya terkadang tidak berhubungan dan terkesan direka-reka. Apa tujuannya? Ia ingin dilihat dan dikenal para peserta di forum itu. Selanjutnya, ia membangun jaringan untuk mendukung proyek-proyek bisnisnya. Intinya dikenal orang!

Saya kembalikan hal yang tadi sembari sedikit menghayal. Benar juga apa yang dikatakan pengusaha itu. Ternyata bertanya itu bukan hanya sekedar meminta penjelasan tapi lebih dari itu. “Wah, siapa tahu gara-gara saya bertanya dengan Mr Trevor. Mungkin saja nanti dijadikan menantu sama dia, hahaha…!”

Bertanya adalah sebuah fitrah. Apakah karena kita pernah dipimpin oleh seorang diktator yang menyebabkan kita menjadi masyarakat diam (silent community)? Semua harus seragam. Pemimpin bilang “O” maka yang lain harus mengangguk. Pernahkah bertanya, kenapa harus “O” Pak? Kenapa tidak “A”, kan sama-sama huruf vokal?

Aku Malu Bertanya, Aku Sesal Di Jalan

Ayo, bertanyalah! Kesempatan itu hanya datang sekali. Kita tidak bisa memperkirakan kapan pertanyaan-pertanyaan di hati kita dapat terjawab apabila kita hanya diam. Apakah dengan diam, ilmu kita bertambah? Tak usah malu. Jangan takut ditertawai orang. Orang yang banyak bertanya bukan berarti ia bodoh. Ia hanya ingin memuaskan rasa ingin tahunya dan menunjukkan eksistensi dirinya.

Ibarat ada sebuah rapat besar pemimpin-pemimpin dunia. Lalu ada salah satu pemimpin bertanya kepada forum. Apakah pemimpin itu bisa dikatakan orang bodoh karena bertanya? Lantas, apa pemimpin lain menertawakan dirinya? Jawabannya jelas tidak, karena disana telah terjadi kedewasaan dalam berkomunikasi.

Dahulu, saya adalah orang yang paling anti dalam bertanya. Pertama karena sombong merasa sudah paham. Kedua karena malu atau gengsi. Akhirnya saya tidak mendapat apa-apa. Semenjak jadi mahasiswa, saya coba biasakan bertanya ketika di forum-forum resmi seperti seminar, kuliah tamu, pelatihan dll. Walaupun sedikit grogi karena dilihat orang banyak, saya tetap nekat. Akhirnya karena kebiasaan itu, kadang-kadang saya suka menyesal di jalan selepas menghadiri seminar karena saya tidak bertanya pada seminar itu.

“Bertanya dan teruslah bertanya tentang apapun yang ada di sekelilingmu, juga tentang dirimu,” ujar Romo YB Mangunwijaya (sastrawan) di depan siswa-siswi SD Mangunan, Sleman. SD unik yang salah satu fokus pelajarannya adalah pelajaran bertanya.

Terinspirasi oleh: Subagyo, Pari.2009.”Habitus” Bertanya.Opini Kompas

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait