ITS News

Rabu, 01 Mei 2024
01 Februari 2009, 10:02

BHP yang Lucu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Elemen yang pro, dalam hal ini tentu saja pemerintah, melakukan berbagai bentuk sosialisasi. Melalui seminar-seminar hingga pernyataan-pernyataan di media massa, pemerintah berusaha menangkis semua “serangan-serangan” terhadap UU BHP. Elemen yang kontra pun tidak kalah istiqomah untuk menyerang UU BHP. Mulai aksi turun ke jalan, pernyataan sikap sampai rencana Judicial Review ke mahkamah konstitusi. Elemen-elemen seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), BEM UI, Taman Siswa, BEM SI, dan berbagai elemen lain telah menyatakan tekadnya untuk segera mengajukan judicial review UU BHP.

BHP sudah “disahkan” 11 tahun yang Lalu
Pada tahun 1998, negara-negara dunia telah bersama-sama menyepakati sebuah kebijakan bernama “World Declaration on Higher Education for Twenty-First Century”. Isinya merupakan sebuah cara pandang baru bagi pendidikan yang bersifat lebih global.

Sebagian besar pihak yang kontra terhadap UU BHP menganggap bahwa UU Sisdiknas, yang memerintahkan penyusunan UU BHP, merupakan salah satu bagian dari ratifikasi kebijakan global tersebut. Sehingga kalau asumsi ini benar, bukankah ini artinya, BHP telah disahkan 11 tahun yang lalu?

Anggaran oh anggaran
Berikut ini gambaran pengalokasian dana yang diatur dalam UU BHP Pasal 41 :

Pendidikan Dasar (SD) :

  • Peserta didik : Gratis
  • BHP : Gratis
  • Pemerintah : 100 % (biaya operasional dan biaya investasi)

Pendidikan Menengah (SMP dan SMA) :

  • Peserta didik : 1/3 dari biaya operasional (maksimal)
  • BHP : 1/3 dari biaya operasional (asumsi peserta didik membayar maksimum dan pemerintah membayar minimum)
  • Pemerintah : 1/3 dari biaya operasional + 100 % biaya investasi (minimal)

Pendidikan Tinggi (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi) :

  • Peserta didik : 1/3 dari biaya operasional (maksimal)
  • BHP : 1/6 dari biaya operasional (asumsi peserta didik membayar maksimum dan pemerintah membayar minimum)
  • BHP dan Pemerintah : 1/2 dari biaya operasional + 100 % biaya investasi (minimal)

Dalam hal pengalokasian anggaran, tidak semua kebijakan UU BHP merugikan. Pasal 40 ayat 4 bahkan kembali memaksa dan menegaskan kewajiban pemerintah untuk merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai UUD 45. Setidaknya para orang tua murid dan pengelola pendidikan dasar bisa sedikit bernafas lega, karena mereka tidak perlu pusing mengurusi biaya pendidikan. Untuk hal ini, kita harus mengakui kebaikan UU BHP.

Namun, permasalahan muncul ketika pengelola BHP pada tingkat menengah dan tinggi akan melakukan usahanya dalam memenuhi bagian anggaran (1/3 biaya operasional) yang diwajibkan kepada mereka. Tidak terbayang usaha jenis apa yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai SMP dan SMA Indonesia.

Dengan kondisi seperti ini bisa jadi harapan pemerintah bahwa dengan BHP, masyarakat pendidikan menjadi lebih kreatif akan terwujud. Ya, kekreatifan untuk mencari usaha yang sama sekali tidak berkaitan dengan pendidikan, usaha penjualan makanan misalnya.

Siswa-siswa juga akan menjadi lebih senang. Karena even-even pentas seni, festival musik, invitasi olahraga, dan berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan uang, yang dulunya sangat sulit mendapat izin dari sekolah, akan dengan senang hati diizinkan oleh sekolah, dengan alasan untuk memenuhi biaya operasional sekolah.

Kemudian untuk pendidikan tinggi akan lebih parah lagi. BHP pendidikan tinggi akan menanggung 1/6 dari biaya operasional, ditambah ½ biaya operasional yang ditanggung dengan pemerintah, dan juga seluruh biaya investasi yang juga ditanggung bersama pemerintah. Dengan catatan, dalam UU BHP tidak diatur besar biaya yang ditanggung pemerintah dari ½ biaya operasional dan seluruh biaya investasi.

Bagi rekan-rekan yang kontra UU BHP, pengalokasian dana seperti ini dianggap sebagai cara pemerintah berlepas tangan dari pendidikan. Namun bagi pemerintah, mereka tidak berlepas tangan. Dengan alasan bahwa Anggaran Dasar BHP masih disusun oleh pemerintah, dan ”masih ada” biaya yang ditanggung oleh pemerintah.

Jadi selama pemerintah masih memiliki andil dalam anggaran pendidikan, maka pemerintah dianggap tidak lepas tangan. Logis bukan?

Kalau tidak mau pailit, jangan privat
Salah satu pasal UU BHP yang menuai kritikan paling banyak adalah pasal 57 yang memperbolehkan BHP untuk pailit alias bangkrut bin gulung tikar. Bagi kawan-kawan yang kontra UU BHP, kejadian pailit tidak pantas terjadi pada institusi pendidikan. Sementara pemerintah menangkis serangan ini dengan menyatakan bahwa setiap badan hukum, baik yang mencari laba maupun nirlaba, menghadapi resiko bubar, termasuk karena pailit atau dipailitkan. Sehingga perlu diatur dalam undang-undang, agar kelak tidak menjadi masalah.

Alasan yang disampaikan pemerintah sangat logis. Dimanapun, yang namanya badan hukum pasti ada resiko bangkrut, dan sekali lagi pemerintah benar bahwa kebangkrutan ini harus diatur dalam undang-undang sehingga jelas siapa yang harus bertanggung jawab.

Berdasarkan UUD 1945 yang kita banggakan itu, yang paling bertanggung jawab terhadap kecerdasan bangsa adalah negara, dalam hal ini pemerintah. Sehingga logikanya, ketika BHP nanti bangkrut yang seharusnya bertanggung jawab adalah pemerintah, kalaupun dianggap BHP yang melakukan kesalahan sehingga kebangkrutan terjadi, bolehlah pemerintah bertanggung jawab penuh dengan sedikit bantuan dari BHP.

Sementara dalam pasal 59 UU BHP, yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah likuidasi, masalah pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik adalah BHP. Pemerintah?
Pemerintah hanya bertanggung jawab memfasilitasi pemindahan peserta didik ke BHP lain (Pasal 59 (3c)).
Hmm, sangat fair bukan?

Jadi bagi pemerintah ada dua pilihan, bertanggung jawab terhadap pailit yang terjadi, sesuai amanah UUD 1945. Atau kalau takut mengeluarkan anggaran besar untuk menanggulangi pailit, ya, tidak usah privat. Kan tidak akan pailit kalau tidak privat!

Asing punya peluang menguasai pendidikan Indonesia
Alkisah, pada sebuah demo besar-besaran penolakan pengesahan RUU BHP di Jakarta. Ketika seorang anggota dewan keluar dari gedung sidang untuk menghadapi pendemo, beliau bertanya ”Tunjukkan pasal yang menunjukkan liberalisasi pendidikan pada RUU BHP?”. Kemudian sang pendemo dengan gelagapan menjawab, ”Ngg, anu, ngg, … … …”. Akhirnya anggota dewan tadi kemudian masuk kembali ke ruang sidang dengan rasa bangga telah mengalahkan pendemo yang ngomong banyak tanpa mengerti apa yang dituntutnya.

Sesungguhnya kita dapat bernafas lega karena anggota dewan tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya dia juga meyakini bahwa liberalisasi tidak boleh terjadi di dunia pendidikan. Terlihat dari bangganya dia sewaktu menunjukkan UU BHP yang tidak mengatur wewenang asing.

Sementara ada dua kesimpulan yang dapat diambil terhadap sikap pendemo tadi. Pertama, pendemo tersebut memang tidak mengerti apa yang dia tuntut, dan belum pernah membaca RUU BHP yang dia tolak. Kalau ini terjadi, maka pendemo ini harus bermuhasabah lagi terhadap gerakan yang telah dia bangun. Kedua, pendemo tadi telah membaca UU BHP dengan seksama, detail, tajam dan terpercaya. Sehingga dia menjadi bingung menjawab pertanyaan tadi. Lho kok?

Karena pada UU BHP yang disahkan tidak ada lagi pasal-pasal yang mengatur mengenai kewenangan asing untuk memberikan modalnya. Tidak ada pasal yang mengatur kehadiran badan asing di Indonesia. Tapi sayangnya dalam UU Penanaman Modal dan PP No.77 tahun 2007 mengizinkan setiap badan usaha menerima modal dari asing, termasuk bidang pendidikan, dalam hal ini BHP.

Jadi kalau memang pemerintah anti-liberalisasi pendidikan hanya ada dua jalan (lagi). Pertama menambahkan pasal pada UU BHP, bahwa lembaga-lembaga asing dilarang berinvestasi khusus pada badan usaha milik BHP. Atau yang kedua, ya, tidak usah privat. Kan kalau tidak privat, asing tidak boleh investasi!

Akhirnya …
Akhirnya setelah berpanjang lebar, bagi rekan-rekan yang menolak, kita perlu memahami untuk menolak UU BHP secara keseluruhan berarti yang harus diserang bukanlah UU BHP, tetapi Pasal 53 UU Sisdiknas yang merupakan hasil ratifikasi kebijakan UNESCO itu. Tetapi kalau mau BHP berbalik menguntungkan masyarakat, mari kita bantu mengingatkan pemerintah pasal-pasal mana yang perlu direvisi atau ditambah.

Sementara untuk pemerintah ada beberapa hal yang bisa disarankan. UU BHP yang sangat terkenal itu sebenarnya bisa dijadikan hal yang sangat baik, tapi pemerintah harus berani memegang kewajiban yang jauh lebih besar daripada yang ada sekarang. Jadi khusus untuk pendidikan, akan ada semacam ”privat khusus”. Privat tapi tidak boleh pailit, dan kepailitan dicegah oleh pemerintah. Kemudian privat tapi asing tidak boleh berinvestasi. (How can? )

Kalau tidak mau, ya, tidak usah privat!
Gitu aja kok repot.

Riskal Majid
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > BHP yang Lucu