ITS News

Sabtu, 18 Mei 2024
23 Juni 2008, 16:06

Nyoman Pujawan, Guru Besar Pertama Supply Chain

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

“Saya merasa menjadi insinyur yang proporsional”, papar Nyoman dalam konferensi pers pengukuhan guru besar di Gedung Rektorat ITS, Senin (23/6). Pernyataan Nyoman tersebut disebabkan karena ia dapat menggabungkan antara keahlian manajemen dan teknik yang dimilikinya.

Menurut kelahiran 7 Januari 1969 ini, semua orang yang berkecimpung di bidang teknik sudah seharusnya mempunyai sense of management. Pasalnya, semua unsur yang bersifat teknik harus dikaji terlebih dahulu dengan memakai perhitungan yang sangat teknik. Perhitungan tersebut tidak dapat dikerjakan oleh para ekonom, sehingga dalam pengerjaannya dibutuhkan orang teknik. “Banyak perusahaan-perusahaan yang meminta lulusan yang ber-background supply chain pada saya,” ungkapnya.

Supply chain atau rantai pasok sendiri adalah salah satu pendekatan manajemen yang mengaitkan antara perusahaan dan para mitra bisnisnya. Supply chain berupa rantai yang terjadi dalam mengelola sebuah perusahaan, mulai dari pemasok bahan baku hingga pengecer yang memasarkan pada konsumen. Pada umumnya semakin pendek rantai dalam supply chain , maka semakin kompetitif perusahaan tersebut.

Nyoman juga menuturkan bahwa dalam supply chain dibutuhkan adanya koordinasi, kolaborasi dan visibilitas informasi. Koordinasi dalam supply chain merupakan penyelarasan proses yang perusahaan jalankan. Sedang kolaborasi digunakan dalam hal peramalan, perencanaan produksi, dan pengiriman yang telah dilakukan oleh banyak perusahaan. Hal yang mendapat paling banyak hambatan adalah visibilitas informasi. Hambatan–hambatan tersebut adalah teknologi informasi serta perilaku yang kurang transparan.

Pria berkacamata ini menambahkan bahwa bidang supply chain merupakan bidang yang sangat dibutuhkan dalam lima tahun terakhir. Tak heran jika di jurusannya yaitu jurusan Teknik Industri, terdapat Laboratorium Supply Chain Management, yang merupakan satu–satunya di Indonesia.

Nyoman merupakan orang yang ramah. Ketika ditanya mengenai bagaimana perasaannya menjadi guru besar di usia yang terbilang muda, yaitu usia 38 tahun saat ia mendapat SK, ayah satu anak ini merendah. ”Biasa saja. Malah di pikiran saya, saya malu karena teman–teman saya di luar negeri mungkin belum dapat dikukuhkan menjadi guru besar,” papar pria yang pernah mengajar di University of Manchester, Inggris ini. "Menjadi guru besar di luar negeri membutuhkan proses yang lebih lama," lanjut dosen yang telah menulis belasan karya ilmiah ini. (nrf/rif)

Berita Terkait