ITS News

Jumat, 19 April 2024
21 April 2008, 11:04

Gubes ke-65, Angkat Arsitektur Nusantara Sebagai ‘Liyan’

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Itulah salah satu pernyataan yang diungkapkan oleh Prof Dr Ir Josef Prijotomo MArch, dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar yang mengambil judul Arsitektur Nusantara: Arsitektur Perteduhan dan Arsitektur ‘Liyan’. Pembacaan Arsitektural Atas Arsitektur Masyarakat Tanpatulisan dilakukan Sabtu (19/4). Melalui thesisnya tersebut, Josef membuktikan bahwa sebenarnya arsitektur nusantara memiliki peluang untuk berkembang sebagaimana arsitektur barat.

Menurut Josef, keunikan dari arsitektur nusantara tak bisa disamakan begitu saja dengan arsitektur barat. Apalagi dipelajari dengan cara barat. Arsitektur nusantara yang notabene lahir dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan hendaknya pendekatannya pun dilakukan dengan cara mereka, bukan cara barat.

"Jika dianalogikan dengan bahasa dan tulisan, penjelajahan atas arsitektur nusantara adalah bagaikan membaca tulisan jawa yang memakai aksara Jawa, bukan membaca tulisan jawa dengan aksara Latin," jelas Josef menggambarkan.

Sebutan arsitektur nusantara, lanjut Josef, sebenarnya tak jauh berbeda dengan arsitektur tradisional karena keduanya mengacu pada obyek yang sama, yakni arsitektur khas masyarakat etnik Indonesia. "Pembedaan sebutan diberikan mengingat masing-masing berbeda dalam tata cara pembangunan pengetahuannya," tegas Josef.

Arsitektur Perteduhan dan ‘Liyan’
Adapun tentang Arsitektur Perteduhan, Josef menjelaskan bahwa konsep ini lahir saat dirinya menjelajahi secara mendalam arsitektur jawa. Menurutnya, aristektur jawa lebih mengarah pada konsep berteduh daripada berlindung. "Hal ini tentu sangat jauh bila dibandingkan dengan cara barat yang lebih menggunakan rumusan bahwa arsitektur adalah perlindungan," kata Josef.

Konsep arsitektur Perteduhan ini, imbuh Josef, ditekankan pada peran atap dalam membangun rumah. "Bahkan, melalui perhitungan jumlah usuk yang disediakan, arsitektur Jawa mendayagunakan atap bagi kegiatan seperti ndalem, pandhapa, lumbung, kandhang dan sanggar pemujaan," jelas Josef panjang lebar.

Dari uraiannya tentang arsitektur Perteduhan tersebut, Josef pun menyimpulkan, bila arsitektur manca diawali dengan denah dan diakhiri dengan atap, maka pada arsitektur nusantara kehadirannya harus diawali dengan pemastian atap gedung terlebih dulu. "Jadi intinya, hadirnya dinding dalam arsitektur Perteduahan bukanlah syarat yang harus ada pada sebuah bangunan. Sebab, prinsip dasar dari arsitektur Perteduhan adalah menjadikan arsitektur menyatu dengan lingkungan sekitar," urainya.

Lebih lanjut, Josef mengutarakan, penghadiran arsitektur nusantara di luar lingkaran arsitektur barat inilah yang selanjutnya menjadikan arsitektur nusantara sebagai arsitektur yang lain. "Atau di sini saya menyebutnya sebagai arsitektur ‘Liyan’, the
Other
," tukasnya.

Dalam kedudukannya yang ‘Liyan’ ini, lanjut Josef, arsitektur nusantara menjadi sama peluangnya dalam menanggapi perubahan dan pembaruan arsitektur. "Misalnya, jika arsitektur barat mampu menghadirkan kekiniannya melalui sosok gedung jangkung, maka arsitektur Nusantara pun berpeluang untuk itu," pungkasnya.

Upacara pengukuhan Prof Dr Ir Josef Prijotomo M Arch sebagai Guru Besar bidang ilmu Teori dan Metode Rancangan ini dihadiri oleh beberapa guru besar dari universitas tetangga, diantaranya Prof Eko Budiarto dari Univeritas Diponegoro dan Prof Gunawan Wibisono dari Universitas Indonesia.

Dengan dikukuhkannya Prof Dr Ir Josef Prijotomo M Arch sebagai guru besar, maka hingga kini ITS telah memiliki 65 guru besar. Josef adalah Guru Besar yang ke-19 di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, serta yang ke-5 di Jurusan Arsitektur. (f@y/th@)

Berita Terkait