ITS News

Sabtu, 05 Oktober 2024
06 Februari 2008, 06:02

Lubna,Sosok Puspa Yang Tak Pernah Layu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sampai di Surabaya, tak kusangka saya diperkenalkan dengan kedua orang tua saya.Ayahku bernama Matrani dan Ibuku bernama Sulikah. Terakhir kemudian saya ketahui orang biasa memanggil ibuku “Yu Kah”. Yah, dialah ibu kandungku, seorang penjual ikan keliling di rumah-rumah dosen ITS. Selain sebagai penjual ikan keliling, ibuku juga kerap kali membantu pekerjaan apa saja pada keluarga dosen-dosen ITS. Mulai dari membersihkan rumah, memangkas rumput di halaman, memasak, mencuci dan entah apa lagi.

Seiring perjalanan waktu, aku pun menjalani kehidupan bersama orang tua kandungku. Ternyata aku tak sendirian, aku adalah anak sulung dari 7 bersaudara. Dua diantara adik-adikku adalah perempuan. Dengan jumlah anggota keluarga yang cukup besar menuntut kami semua bekerja keras. Hari –hariku, kugunakan untuk membantu ibu membanting tulang. Sehabis pulang sekolah aku selalu menyusul ibu ke komplek dosen ITS untuk membantu ibu membersihkan halaman atau memotong rumput di halaman rumah dosen ITS. Yah, semua itu harus kulakukan karena tak mungkin ayah dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Ayahku hanya seorang pengayuh becak, yang kemudian beralih profesi sebagai seorang satpam sampai akhir hidupnya.

Ketika itu, aku masih duduk dikelas 4 di sebuah SD di jalan Keputih yang kini dikenal sebagai Jl. Arif Rahman Hakim. Aku bersyukur ketika aku diajak Paman ke Surabaya sekolahku dapat kulanjutkan lagi. Karena itulah yang akhirnya dapat membuat hidupku kini dapat berubah lebih baik. Untuk pulang dan pergi ke sekolah aku lebih baik “nunut” mas-mas Mahasiswa ITS kala itu. Hampir semua teman-temanku juga menjalani hal yang sama. Bahkan tak hanya mas-mas Mahasiswa saja yang pernah kami tumpangi. Mobil-mobil dosen ITS pun sering kami cegat untuk sekedar bisa pulang ke rumah.

Masih segar dalam ingatanku, ketika aku sering melintas di depan sebuah rumah yang terletak kedua dari pojok. Rumah itu aku ketahui beridentitas Blok F No. 8. Orang lebih mengenal rumah itu adalah rumah “Bu Lubna”. Tak hanya itu, aku masih ingat ketika aku bersama ibuku pernah membersihkan dan memotong rumput di halaman rumah itu. Aku melihat betapa bahagianya keluarga ini. Aku juga masih ingat, ketika itu keluarga ini memiliki anak-anak yang masih kecil. Bahkan masih terbilang seusia dengan adik-adikku yang nomor 4, 5 dan 6. Masih teringat pula, terlihat mereka dengan riangnya bermain bersama saudara-saudaranya. Masa kecil yang sungguh indah, yang mungkin tak pernah kudapatkan seperti yang ada pada keluarga ini. Semua itu dapat kulihat dengan jelas dan tak terbayangkan manakala ketika itu mendung tebal menggelayut pada keluarga ini. Ketika itu saya hanya mendengar bahwa Pak Lubna telah meninggal dunia. Saat itu tahun 1985 ketika aku baru lulus SD dan aku mulai ikut keluarga Pak Margono, yang berada di Blok B No. 7. Aku hanya bisa merasakan kesedihan keluarga ini dari jauh seraya berdo’a semoga tuha memberikan ketabahan.

Seiring berjalannya waktu, aku sering kali melihat sosok “Bu Luna” yang terkadang berjalan ketika ke kantor. Pagi-pagi sekali memang aku sudah berada di rumah Pak Margono sebelum siangnya aku pulang untuk berangkat ke sekolah di sebuah SMP swasta di Jl. Arif Rahman Hakim kini. Aku hanya tahu kalau Bu Lubna adalah Pengajar Bahasa Inggris. Terkadang, aku menerawang betapa aku ingin seperti dia pandai berbahasa Inggris. Entah kenapa, ketika aku mendengar kata Bahasa Inggris aku seperti tersontak untuk ingin mempelajari dan menguasainya. Keinginan itu terbawa terus sepanjang aku sekolah di SMP.

Lebih-lebih Guru Bahasa Iggrisku, ternyata enak sekali cara mengajarnya. Aku jadi lebih mantap untuk bisa berbahasa Inggris seperti halnya Bu Lubna. Benar ternyata keinginanku sedikit-demi sedikit mulai ada hasilnya. Meskipun nilai pelajaran matematikaku sangat kurang, tetapi nilai bahasa Inggrisku sangat bagus. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa sangat keranjingan untuk ingin bisa berbahasa Inggris daripada pelajaran yang lain. Secara tak sadar barangkali sosok “Bu Lubna” telah menginspirasi semuanya itu hingga kini. Terlebih aku ingin menjadi pengajar Bahasa Inggris yang disukai murid-muridku. Ada kepuasan manakala aku mengajar didepan mereka ketika mereka melihat penampilanku mengajar telah telah membuat mereka terkesima dan memotivasi mereka untuk bisa seperti yang aku tunjukkan. Aku ingin mereka tidak menganggap sulit untuk bisa berbahasa Igggris.

Tak serasa aku sudah lulus SMP ketika itu tahun 1988. Meski keinginanku untuk bisa menjadi guru Bahasa Inggris menggebu, aku tak kuasa meraihnya karena keadaan keluargaku yang serba kekurangan, akhirnya aku hanya bisa meneruskan sekolahku di SMEA Negeri 3 yang kebetulan pada tahun itu sekolah itu baru pertama kali menempati gedung sekolah yang ada di Keputih, tepatnya didepan TPA Keputih.Ketika dii SMEA aku sudah jarang ke Perum Dosen ITS, karena rumahku telah pindah di daerah Keputih Tanggul tak jauh dari TPA Keputih. Dulu rumahku ada didepan komplek ITS, yang kemudian digusur. Disamping itu, aku sudah tidak lagi ikut pada Keluarga Pak Margono. Ibuku, walaupun tak sesering dulu terkadang juga masih ke Perum Dosen ITS. Yang aku tahu dia terkadang ke rumah Bu Aris Purnomo, Bu Djoko (yang rumahnya di Blok B No.1), Bu Udin(Bu Syarifudin; red)yang kemudian aku kenal sebagai Dekan Fakultas Teknik Industri, Bu Sadji, dan yang lainnya.

Ketika aku lulus SMEA pada tahun 1991, aku banyak melamar kerja kemana-mana. Namun tak membuahkan hasil. Sampai pada akhirnya ibuku meminta tolong kepada Bu Aris agar aku bisa bekerja di Kampus ITS. Tak berselang lama aku diterima bekerja di Jurusan Teknik Elektro, tempat dimana Pak Aris Purnomo bekerja. Ketika itu beliau menjabat sebagai Kaprodi Teknik Telekomunikasi.

Meskipun aku telah bekerja di ITS, tiap saat keinginanku untuk bisa terus mendalami bahasa Inggris begitu besarnya. Diwaktu senggang bekerja, selalu aku gunakan untuk mempelajari dan meningkatkan kemampuanku Berbahasa Inggris. Sampai pada akhirnya ketika itu, Teknik Telekomunikasi ITS bekerjasama dengan sebuah lembaga konsultan dari Jepang untuk proyek dengan PT. TELKOM. Aku ditawari Pak Aris untuk menjadi karyawan di Kantor Konsultan itu di Jl. Ciliwung. Benarlah, ternyata tidak sia-sia aku mempelajari Bahasa Inggris. Orang-orang Jepang dikantor itu menggunakan Bahasa Inggris untuk percakapan dengan kamisehari-hari. Barangkali melihat kemampuan Bahasa Inggrisku cukup baik, seringkali aku diminta oleh Sekertaris Kantor untuk menjemput tamu maupun tenaga ekspatriat di Bandara. Meskipun sebenarnya itu bukan tugasku sebagai seorang operator Komputer. Sambil bekerja di kantor konsultan itu aku tetap tergerak untuk menjadi seorang pendidik disekolah.

Selepas aku bekerja di Kantor Konsultan itu pada tahun 1995. Aku mengambil melanjutkan sekolah di sebuah Universitas dan mengambil Jurusan Diploma 2 PGSD (pendidikan guru sekolah dasar). Lulus pada tahun 1997 aku langsung diterima sebagai tenaga guru Sukwan di sebuah SD di Semolowaru. Meskipun jurusanku bukan Bahasa Inggris, aku harus mengajar Bahasa Ingrris di sekolah itu. Hal itu karena di sekolah itu tidak ada lowongan untuk Guru Kelas sesuai dengan jurusan yang aku tempuh. Akhirnya aku harus banyak belajar menekuni profesiku sebagai Guru Bahasa Inggris.

Aku banyak mengikuti training-training Bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh elmbaga-lembaga kursus. Orang dan teman sejawat akhirnya lebih mengenalku sebagai Guru Bahasa Inggris ketimbang guru kelas yang saat ini aku lakoni karena sebuah keharusan sebagai guru PNS yang harus mengajar sebagai seorang guru kelas. Meski aku merasa kehilangan dengan profesiku (sebagai guru Bahasa Ingrris), tetapi paling tidak aku pernah memiliki kebanggaan dikenal orang sebagai Guru Bahasa Inggris. Sebuah profesi yang tak semua orang dapat meraihnya.

Sepanjang waktu yang tercerita diatas, sosok “Bu Lubna” tetap saja tak pernah lepas aku ikuti kabar beritanya lewat koran ataupun majalah-majalah. Banyak sekali artikel-artikel Lubna yang aku baca. Sungguh, aku merasa tak seperti Lubna itu. Dia sangat mencintai profesinya dan bangga akan kemampuannya berbahasa Inggris. Tak sedikit aku juga iri, bagaimana dia bisa pintar sekali karena aku merasa masih belum bisa seperti dia. Yah, aku pikir, memang aku tidak memiliki kesempatan yang sama seperti dia yang pernah belajar di luar negeri. Mungkin itu juga bukan satu-satunya alasan pembenar. Lubna adalah sosok yang luar biasa, kemauannya, ketegarannya, dan keuletannya telah mengantarkannya pada apa yang ingin diraihnya. Yah, barangkali dia ingin menjadi “puspa” yang tak pernah layu. Itu sudah dibuktikannya hingga kini.

Bu Lubna, ijinkan aku sedikit memujimu. Meskipun aku tak mengenalmu dari dekat dan mungkin kau tak mengenal jelas denganku, namun engkau tak hilang dalam anganku untuk menjadi sepertimu. Ya, “Lubna Algadrie” sebuah nama yang seharum bunga. Terlebih keharuman itu memancar seiring kesetiaannya pada suami tercintanya. Kenangan yang sebentar dengan suaminya telah dihidupkannya sebagai cinta yang abadi dari seorang istri. Sungguh, tak banyak yang dapat melakoni kehidupan ini sepertimu. Kehilangan asa, pastilah menjadi hal yang terjadi pada seseorang yang mengalami historis kehidupan sepertimu.

Bu Lubna, jangan engkau marah karena aku mungkin tak juga membanggakanmu untuk menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris yang sejati. Kenyataan hiduplah yang telah menggariskanku untuk menjadi Seorang Guru Kelas di Sekolah Dasar. Kini aku juga memiliki 3 orang anak sepertimu. Yang tertua kini sudah kelas II SD, dia adalah putriku yang sangat dekat denganku. Dia rupanya mengidolakanku. Tak pernah dia mendapatkan nilai Bahasa Ingrris dibawah sembilan, bahkan nilai seratus telah mampu diraihnya. Putriku barangkali yang akan kelak melanjutkan perjuanganmu sebagai Pengajar Bahasa Inggris yang sejati dan professional. Bagiku itu sudah cukup mengobati gundahku dengan kebanggaanku pada putriku kelak.

Doa’ku, semoga ibu senantiasa diberikan kasih sayang dan perlindungan dari Tuhan. Semoga pula Ibu senantisa tersenyum sampai kelak bertemu kembali dan memberikan senyum terindah yang Ibu miliki kepada Suami Ibu tercinta di Surga-Nya.

Dari aku yang mengagumimu

Mokhammad Munip, AMa.Pd. SE.
Guru SDN Semolowaru II-262 Surabaya
Jl. Semolowaru No. 179
(si pemotong rumput di rumah Lubna Algadrie)

Berita Terkait