ITS News

Minggu, 28 April 2024
19 Agustus 2007, 06:08

Kemerdekaan, Milik Siapa?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Masih segar di ingatan begitu setiap tanggal 17 Agustus saat sekolah dulu aku harus berpanas-panasan mengikuti upacara bendera. Pidato sambutan dari inspektur upacara yang begitu berwibawa, seakan membawa peserta upacara ke alam perjuangan, memompa darah dalam jantung ini menuju ke puncak nasionalisme di dalam jiwa. Serentetan kegiatan seremonial ini adalah salah satu wujud peringatan serta bentuk ucapan "terima kasih" rakyat Indonesia kepada para pahlawan.

Entahlah apa yang ada di benak hati kita masing-masing. Apakah kita benar-benar menghayati momen ini, ataukah kita hanya ikut-ikutan saja. Mungkin hanya TNI dan para siswa di sekolah saja yang selalu merasakan detak-detak jantung nasionalisme, karena hampir setiap minggu mereka melaksanakan upacara bendera. Manusiawi memang bila hal ini terjadi di tengah masyarakat, apalagi saat ini pengaruh budaya serta politik global telah merasuk ke pola hidup masyarakat.

Berbagai budaya serta pengaruh asing begitu mudahnya masuk ke negeri ini. Hal inilah yang menjadikan sebagian masyarakat berpikir bahwa kita sebenarnya belum merdeka. Memang kita secara de facto telah lepas dari penjajahan. Namun secara ekonomi budaya, serta politik kita masih terjajah. Itulah pendapat sebagian orang. Namun bila ditelaah lebih dalam, dengan pendapat seperti itu, maka muncul pertanyaan "Adakah negara yang benar-benar merdeka?". Karena dapat dipastikan hampir setiap negara yang merdeka di bumi ini selalu mengalami fluktuasi ekonomi, permasalahan sosial, budaya serta politik di negerinya masing – masing.

Ada suatu fenomena menarik yang dapat diambil dari beberapa negara. Kalaupun mengaca ke negara yang ekonomi mapan, misal kita ambil Jepang atau Amerika, jelas tertanam di otak kita bahwa kedua negara ini adalah negara merdeka dengan teknologi tinggi (Jepang), serta sang negara adikuasa di bumi (Amerika). Akan tetapi bila kita telusuri lebih mendalam, kebahagiaan serta kesejahteraan ternyata belum juga sepenuhnya dinikmati warga kedua negara ini. AS dan Jepang merupakan dua negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia (BbcIndonesia.com).Budaya kekerasan, pergaulan bebas, tingginya peredaran narkotika, juga masih "menjajah" masyarakat negara adidaya ini.

Bahkan yang terbaru saat ini, ada suatu kebiasaan bunuh diri secara bersama-sama di lingkungan masyarakat jepang. Ini menunjukkan ada suatu "tekanan massal" yang dirasakan warga bangsa ini. Dapat disimpulkan, walau terbilang cukup mapan, warga masyarakat kedua negara ini masih merasa belum ada ketenangan, masih terjajah oleh keadaan yang terus menekan jiwa -jiwa mereka.

Dan justru sebaliknya India dengan tingkat ekonomi yang rendah malah menempati posisi terendah dalam hal tingkat bunuh diri. Entah apakah ini dapat menggambarkan ketenangan yang dirasakan masyarakatnya. Namun inilah salah satu bukti bahwa bentuk lain dari penjajahan serta ketakutan masih melanda masyarakat di dunia dengan berbagai kondisi sosial masyarakatnya. Lalu sebenarnya bagaimanakah orang yang benar-benar merdeka itu?

Kemerdekaan Milik Orang Bertakwa
Orang hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi (Iwan Fals)

Untaian lirik lagu yang dilantunkan Iwan Fals di atas menggambarkan, bahwa sebenarnya kebutuhan mendasar manusia adalah kebutuhan ruhiyah. Dengan semakin tingginya tuntutan zaman, manusia terus dikejar waktu untuk dapat memenuhi target-targetnya. Walau secara jasadiyah kebutuhannya terpenuhi, namun secara ruhiyah dan fikriyah sejatinya kita masih terlalu lemah. Keringnya ladang-ladang nurani di hati ini tak jarang mengundang berbagi penyakit yang menjangkiti jiwa seperti misalnya stress, iri, dengki, serta berbagai varian penyakit hati lainnya yang tentunya juga dapat memicu penyakit fisik.

Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan jasadiyah dan ruhiyah inilah yang akan mengganggu kestabilan hubungan jiwa dan raga. Dan itulah yang membuat kita merasa belum merdeka. Merasa terus tertekan, terus diburu waktu, terus dikejar target, dan akhirnya lupa akan jati dirinya sebagai makhluk sang Khaliq. Nurani tak lagi terusik saat kita menyaksikan saudara-suadara kita kelaparan, tertindas, dan tersisih. Bahkan kita dengan serta merta menyalahkan mereka. Salah sendiri jadi orang miskin, salah sendiri melarat.

Selama jantung masih berdetak, ampunan Tuhan masih terbuka lebar bagi umatNya. Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A’raf: 128). Janji Allah di Al Quran jelas dan nyata bahwa Dia akan membimbing umatNya yang bertakwa.

Banyak manusia yang mengaku "beriman", mereka mengakui adanya Allah dan juga tahu ajaran-ajaranNya, tapi mereka enggan melaksanakan perintahNya. Dan hal ini menjadi hal yang lumrah yang terjadi di masyarakat karena pengaruh berbagai kondisi yang menimpa masyarakat dewasa ini. Mungkin ada persepsi Allah akan merasa maklum terhadap kesibukan manusia, sehingga Allah mengampuni atas kealfaan manusia menunaikan kewajibannya. Padahal jelas dan nyata diri ini adalah abdi yang harus senantiasa mengabdi kepada Sang Gusti. Kita adalah makhluk yang diistimewakan, diberikan kesempuranaan dan kelebihan dibandingkan makhluk yang lain. Diberikan banyak fasilitas, namun kita terlalu sombong untuk mengakui bahwa kita adalah seorang abdiNya.Kita salah menafsirkan kemerdekaan yang diberikan Allah.

Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa aturan. Allah telah menciptakan bumi dan beredar tepat pada orbitnya. Menciptakan milyaran planet, bintang, dan jutaan galaksi bukanlah tanpa aturan. Semuanya berada dalam aturan yang dikehendakiNya. Semua berjalan pada orbit dan garisnya masing-masing. Makhluk-makhluk Allah tadi adalah makhluk yang merdeka, tak terampas haknya dan terus mengabdikan dirinya kepada sang Pencipta. Begitu pula kita,manusia yang merdeka, kita bebas untuk melakukan apa saja, sepanjang dalam koridor aturan yang telah ditentukan Allah.

Kemerdekaan sejati letaknya di hati. Kepada pemilik hati-lah seharusnya kita menyerahkan qalbu-qalbu ini. Bukan kepada selembar kertas bertuliskan barisan huruf-huruf dan angka (baca uang), bukan kepada jabatan, ataupun berlimpahnya kekayaan. Menjadi kaya bukanlah sesuatu yang salah dan memang rezeki itu harus terus dijemput, namun bila hati sudah mengabdi kepada bukan kepada penciptanya, maka kemedekaan hati sejatinya telah dirampas. Bila ini telah terjadi sucinya cahaya hati akan tergores oleh noda-noda keduniawian. Kembalikan kemerdekaan hati kepada sang pencipta hati. Hanya kepada Allah hati kita mengabdi.

(Terus mengingat pekik Bung Tomo saat mengahadapi buasnya tentara sekutu)
Allah Akbar!!! Merdeka!!!!

Marji Wegoyono
Jurnalist ITS Online
Computer Control 2004

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Kemerdekaan, Milik Siapa?