ITS News

Minggu, 28 April 2024
17 Agustus 2007, 13:08

Sebuah Otokritik Kemerdekaan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Berkat dorongan dari para pemuda, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kini, telah sampai waktunya untuk merayakan kemerdekaan tersebut, tepatnya pada tanggal 17 Agustus nanti, genap 62 tahun sudah usia NKRI. Namun, tak ada yang berbeda dari perayaan di tahun–tahun sebelumnya. Sebut saja, umbul- umbul yang telah banyak terpampang  di jalan raya tak terkecuali di daerah perkampungan. Bahkan ada yang tidak segan–segan lagi untuk merogoh koceknya untuk sekedar menghias pekarangannnya sendiri. Tak sekedar itu saja, lomba–lomba di perkampungan pun telah semarak diadakan. Seperti: lomba makan kerupuk, lomaba sepak bola yang diimprovisasi dengan kostum pemain perempuan hingga panjat pinang dan rakyat pun menyambutnya dengan gagap gempita.

Dari sekian banyak perayaan tentu saja yang utama adalah upacara kemerdekaan yang dilakukan hampir seluruh rakyat Indonesia di hari yang sakral itu, ini semua adalah usaha untuk mengenang seluruh perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan harta, jiwa, dan raganya untuk kemerdekaan RI. Rasa senang sudah pasti dimiliki setiap rakyat Indonesia, karena hidup dan tinggal di negara yang sudah merdeka dan bebas dari penjajah. Akan tetapi, pernahkah terlintas dalam pikiran kita sebuah pertanyaan besar; apakah benar, negara ini sudah merdeka seutuhnya?

Sedihnya, kebahagiaan semacam ini hanya berlangsung dalam sekejap dan hanya menjadi euforia. Karena setelah itu, kita semua akan bertemu lagi dengan masalah–masalah yang sedang menghantui negara ini dan rakyat pun meronta–ronta untuk segera dicarikan solusinya. Seperti kasus lumpur panas Lapindo, masalah TKI dan penganggurannya, kemiskinan yang terus merajalela, biaya pendidikan yang terus melambung tinggi, dan biaya pengobatan yang semakin mencekik.

***
Saya percaya perjuangan selalu saja dimulai dari generasi muda. Contoh yang paling gamblang tentu saja peristiwa proklamasi yang dimulai dari peristiwa Rengasdengklok. Seandainya saja Ir Soekarno tetap menuruti kata kaum tua yang menghendaki lain bisa jadi kemerdakaan Indonesia tidak dirayakan pada tanggal 17 Agustus, bahkan mungkin tidak sama sekali.

Sayangnya semangat itu memudar kini, jiwa muda yang bergejolak menentang tirani sekarang sudah tidak terdengar gaungnya lagi. Bisa jadi para pemuda pemudi negeri ini sudah cukup nyaman meringkuk di balik selimut hangat kemerdekaan. Atau mungkin sibuk berasyik masyuk dengan segala macam fasilitas dan teknologi yang melemahkan. Banyak pemuda di negeri ini tanpa sadar telah menafikkan realitas sosial di sekitarnya; mendandani diri sampai silap dan emoh menoleh keadaan masyarakat di sekelilingnya. Nampaknya mereka tidak pernah paham bagaimana negeri ini dibentuk, tentu saja dengan darah dan air mata moyang mereka. Padahal jauh-jauh hari Pramoedya Ananta Toer bertuah dalam novel tetraloginya, Jejak langkah; "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya”.
 
Sungguh negeri ini membutuhkan sosok pemuda yang kokoh dan sadar akan tanggung jawabnya. Pemuda yang di dalam dirinya tertanam identitas diri sebagai orang Indonesia yang kuat. Tidak hanya slogan semata. Sosok muda yang segar dan mampu memberikan nafas baru perubahan pada segala problem bangsa yang menghadang. Sosok muda yang dinanti sebagai satrio piningit yang membebaskan.

Saya jadi ingat sosok seorang teman dari FTK ITS yang selalu berusaha mengikuti upacara kemerdekaan setiap tahun di Istana Merdeka walau hanya di luar pagarnya saja. Meskipun jauh hari sebelumnya ia harus rela berlapar untuk menebus tiket ekonomi ke Jakarta nanti. Saat ditanya dia hanya beralasan, ”Lebih enak upacara di Istana, lebih menggetarkan!” ujarnya. Bisa jadi di pundak kecilnyalah masa depan negeri ini dititipkan. 
***

Sudah 62 tahun negara ini merdeka. Kalau diibaratkan dengan umur manusia, 62 tahun telah dikategorikan sebagai yang cukup sepuh dan jika dipaksakan untuk bekerja maka hasilnya pun tidak dapat maksimal. Akan tetapi, jika diibaratkan dengan gaung seekor singa, semakin berumur singa itu maka gaungnya pun  akan semakin terdengar dari kejauhan. Besar harapan di seluruh hati rakyat Indonesia tentunya, semoga Indonesia tidak seperti manusia yang sudah sepuh akan tetapi Indonesia dapat menjadi seekor singa yang gaungnya terus terdengar hingga sepanjang masa. Dirgahayu!

Siti Makatur Rohmah
Mahasiswa Biologi ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Sebuah Otokritik Kemerdekaan