ITS News

Sabtu, 18 Mei 2024
11 November 2006, 09:11

Mencari Pahlawan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sepuluh Nopember di malam hari, café-café yang menghiasi kota pahlawan ini masih menawarkan musik house dan trance lengkap dengan para DJ yang bersembunyi dibalik piringan besar turntables. Sepuluh Nopember puluhan tahun yang lalu sudah tidak berbekas, minuman dengan sedikit alkohol barangkali jauh lebih menarik dibandingkan dengan upacara bendera di pagi hari.

Memaknai sejarah dan kepahlawanan barangkali merupakan hal yang lebih sulit ketimbang mencari jarum di tumpukan jerami. Ya, bangsa kita adalah bangsa yang mudah lupa. Lupa betapa sulitnya negeri ini dibangun. Sifat itu juga yang menghinggapi sebagian besar anak muda di negara ini. Heroisme bagi mereka tidak hanya berupa epos perjuangan Jenderal Besar Soedirman, namun juga lirik-lirik marah dari RATM. Heroisme tidak lagi berupa cerita RA Kartini, namun heroisme berarti juga influence dari seorang rapper wanita Missy Eliot. Itulah generasi X. Mereka telah menemukan pahlawan mereka di jalur yang lebih popular.

Aneh memang ketika di zaman yang serba digital ini ada anak muda yang masih mau membaca cerita klasik heroisme. Sama seperti memberikan kaset Koes Plus kepada pemilik iPod yang penuh berisi lagu-lagu emo dari My Chemical Romance. Budaya pop tidak menghendaki hal itu. Sama kagetnya saat saya bertemu dengan Evi Warikar, seorang muda yang rela mendedikasikan hidupnya menyusuri hutan-hutan lembab di Papua demi menginventarisir kupu-kupu yang menjadi salah satu kekayaan tak ternilai dari negeri mutiara ini.

Dalam tayangan film para finalis Eagle Award di salah satu televisi swasta memberikan perspektif baru kepada saya mengenai arti heroisme. Heroisme sebenarnya tidak menghendaki sebuah cita-cita tinggi, heroisme hanya menghendaki dua hal: keikhlasan untuk berbagi dengan orang lain dan kerja keras. Tidak ada spesifikasi khusus untuk menumbuhkan sikap seorang pahlawan, hanya dedikasi tinggi yang diberikanlah yang membedakan.

Sikap itulah yang ditunjukkan oleh Dauzan, seorang veteran perang, dalam menjalani sisa umurnya yang sudah tidak lagi muda. Berkeliling menawarkan ribuan buku yang dikoleksinya kepada generasi muda merupakan satu-satunya hal yang dapat ia berikan. Mengajak generasi muda mencintai buku dengan membangun sebuah perpustakaan bebas merupakan cara Dauzan untuk menunjukkan cintanya yang besar terhadap negeri ini. Namun sungguh, dedikasi besar Dauzan pun tidak bergaung melebihi lagu-lagu Radja.

Sepuluh Nopember kemarin, Starbucks masih dipenuhi anak muda, mengenakan setelan Levi’s dan kaos Ouval dengan Cartier yang melingkar manis di pergelangan tangan mereka asyik mengobrol mengenai masa depan. Masa depan negeri ini yang sebentar lagi lenyap.

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mencari Pahlawan