ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
15 Maret 2006, 16:03

RUU APP dan Pemaknaan Kembali atas Tubuh

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pornografi, mungkin kata ini menjadi salah satu kata yang paling penting bagi manusia yang hidup di abad setelah Guttenberg. Sebagaimana seorang tokoh mengatakan bahwa majalah Playboy merupakan penemuan paling brilian umat manusia setelah penemuan roda. Bagaimana pornografi telah menemani perkembangan akal budi manusia selama ini? Jawabannya adalah karena manusia adalah makhluk yang senantiasa gelisah. Tidak hanya pada lingkungan sekitarnya, lebih privat, sebenarnya pemaknaan ulang atas tubuh merupakan wacana yang tidak akan pernah mati. Itu mengapa ada psikoanalisa Freud yang didasarkan pada tafsir seksual hingga teks-teks suci Al-Quran yang dianggap memasung kebebasan kaum pemuja tubuh. Juga ada kasus body piercing hingga fenomena pria metroseksual. Itu semua merupakan manifestasi dari kesadaran manusia atas tubuh.

Sejak berabad-abad yang lalu, kesadaran manusia atas keindahan tubuh telah berkembang. Bahkan di beberapa daerah tampak menemukan caranya sendiri untuk penafsiran yang asasi ini. Dapat kita temui bagaimana orang Tiongkok kuno memusatkan perhatian pada bagian yang selama ini tidak kita sadari: telapak kaki! Bagi mereka, telapak kaki merupakan bagian yang paling indah dari tubuh manusia, mungkin itu menjadi jawaban yang paling relevan saat kita dihadapkan pada adagium popular “surga berada di telapak kaki ibu”. Cara yang unik juga diperlihatkan oleh suku Indian di Amerika, bagaimana mereka menjadikan rambut menjadi bagian yang sangat sensual bahkan sakral.

Dengan cara yang lebih ekstrem, Botero -seorang perupa kontemporer- mencoba menafsir ulang tubuh manusia. Selama ini konsepsi kita tentang cantik sangat mungkin didasarkan pada gambaran yang kita sandarkan pada kecantikan artificial yang paling sukses dibuat manusia, boneka Barbie. Botero mencoba mengabaikan hal itu, sebagaimana dalam portofolio visualnya dia lebih mengeksplorasi tubuh-tubuh gendut –yang lebih tampak seperti onggokan daging-sebagai objek kreatifnya. Seperti halnya Botero, beberapa perupa di abad pertengahan juga menjadikan tubuh sebagai objek kreatifnya.

Lalu apa hubungannya dengan RUU APP? Bahwa sebenarnya RUU ini mencoba menyadarkan kita bahwa sebenarnya tubuh bukanlah merupakan entitas yang terpisah dari diri. Karena sebetulnya diri adalah perpaduan sempurna antara tubuh dan jiwa. Dan diri manusia tidaklah terpisah dengan diri manusia yang lain. Jadi dapat dikatakan jika tubuh sendiri adalah dimensi sosial walaupun dia berada di wilayah yang paling privat sekalipun.

Skenario inilah yang digunakan kaum punk dan skinhead, mereka menggunakan tubuh sebagai alat propaganda atas ideologi mereka yang anti kemapanan. Juga mengapa pembedaan kaum priyayi dan pribumi hanya dilihat dari tubuh dan pakaian yang menghiasinya. Tidak lebih. Bahkan lebih jauh kita dapat melihat kelamnya sejarah dimana rasisme muncul juga hanya karena satu perkara: tubuh! Barangkali Outward Appereances merupakan buku yang relevan atas studi mengenai tubuh kontemporer. Disebutkan dalam buku itu bahwa selama ini tubuh dan pakaian telah menjadi alat politik yang paling manjur. Tubuh telah kehilangan dimensinya sebagai dimensi privat yang padanya kita dapat berlaku semau-gue. Bagaimanapun juga tubuh tampil pada ranah sosial, perlakuan kita pada tubuh mau tidak mau akan menimbulkan dampak bagi lingkungan di sekitar kita.

Karena tubuh mempunyai dampak sosial, maka dibuatlah norma untuk mengatur etiket yang seharusnya dijalankan agar selaras dengan nilai masyarakat yang berlaku. Demokrasi, seni, dan kebebasan merupakan sekat tipis yang biasa dipakai berlindung para eksibisionis dan kaum pemuja tubuh. Mereka mengatakan bahwa atas nama ketiga hal tersebut maka mereka bebas untuk membuat penafsiran atas tubuh mereka sendiri. Mereka ingin membuat tubuh mereka bebas berbicara tentang status, gaya hidup, wacana, dan hal yang paling remeh sekalipun: kemanusiaan. Pertanyaannya adalah, apa yang tubuh ketahui tentang kemanusiaan? Apakah kemanusiaan dapat diproyeksikan dengan sempit pada sebuah tubuh?

Saya sendiri sudah tidak peduli lagi, sama tidak pedulinya dengan membiarkan kulit saya hitam melegam dibakar matahari Surabaya. Barangkali ini cara saya untuk menafsirkan tubuh saya, selagi belum ada hukum yang mengatur bahwa kulit hitam adalah tindakan kriminal! Ya toh?

Ayos Purwoaji
Penulis adalah mahasiswa Desain Produk ITS

Berita Terkait